Malam datang dengan demikian mempesona. Kegelapan telah menjadi terang oleh cahaya bulan yang menyala. Memberikan kehangatan bak mentari saat senja. Sementara sang bintang menatap dengan sinar matanya yang lembut, seperti tatapan bidadari yang mandi saat pagi buta. Pohon-pohon menggerakkan lengan-lengan rantingnya, layaknya lambaian tangan si putri jelita. Jangkrik-jangkrik pun ikut menyanyi dengan suaranya yang merdu, bertemakan asmara dua insan penghuni semesta. Begitulah indah malam ketika dihinggapi oleh cinta.
Aku terlelap dalam keindahan malam itu. Di ndalem-nya Pak Kiai, baru saja aku selesai mengaji Dzurrotu an-Nashihin, namun tidak bisa kuingat lagi nasihat-nasihat yang bermanfaat di dalamnya. Ngaji yang kira-kira sejam lamanya itu seperti angin lalu saja, yang berbekas tinggal coretan-coretan pego di kitab yang tak pernah lagi kubaca. Petuah-petuah ustadz juga telah menguap entah kemana. Itu karena rasa perasaanku sedang dihinggapi bahagia, yang menerbangkanku ke angkasa, dan membawaku mengelilingi hamparan samudra. Saat itu, sedang kudengar suara di ujung telepon dari gadis yang kupuja. Dinda, itulah namanya. Seorang gadis jelita yang sedikit banyak merubah hidupku di asrama yang kadang terasa hampa. Cintanya membuat setiap malam kumemipikannya, ketika terjaga pun selalu kulihat bayang-bayangnya.
Malam itu, ketika aku sedang duduk di kamar lima Alhusna, Dinda meneleponku ke handphone kepunyaan Arfad, salah seorang teman sekamarku. Memang, harusnya di lingkungan pesantren alat komunikasi yang satu itu termasuk yang diharamkan. Tetapi apalah artinya peraturan bagi pemuda yang sedang haus akan kasih sayang. Agaknya itupun seperti yang sedang aku dan beberapa teman rasakan. Dan malam itu, ketika menerima telepon itu, bahagia sekali rasanya, hatiku menjadi berbunga-bunga, anganku pun terbang menjelajah angkasa.
“Hallo. Assalamu’alaikum,” terdengar suara di ujung telepon.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku dengan senyum bahagia.
“Subhanallah, lembutnya suara itu,” kataku dalam hati. Aku pun tiada bisa berkata-kata lagi. Aku bayangkan Dinda saat itu duduk di sampingku, memandangku, memelukku, kemudian membisikkan kata-kata cinta di telelingaku dengan suaranya yang mesra dan manja. Begitupun juga aku yang tak mau kalah, kupandangi ia, kudekap dalam pelukku dengan lembutnya, kemudian kujawab bisikannya dengan sajak-sajak asmara yang mempesona. “Ah, seandainya semua itu nyata!”
“Say, kamu kok diam saja?” kata Dinda.
“Oo iya,” jawabku terperangah. “Dinda, aku memang diam tanpa kata, tetapi sejak tadi hatiku telah banyak berbicara. Tidakkah engkau mendengarnya?”
“Ah, masa iya si, Say?”
“Sayang, pohon-pohon yang menjulang tinggi di taman Alhusna pun mendengarnya. Sehingga bunga-bunganya menjadi layu karena tersipu. Kupu-kupu pun menjadi marah padaku karena cemburu.”
“Ah, Say. kamu bisa saja!” kata Dinda dengan mengisyaratkan senyumnya.
“Untukmu, semua akan bisa kulakukan, Sayang. Apa si yang tidak buat kamu?” Kali ini aku tidak bisa lagi menahan tawa, begitu juga Dinda.
“Say-Say, barusan aku mendengar jeritan hatimu.”
“Oiya, apa katanya?”
“Aku melihat mentari menyinari dunia tidak secerah biasanya. Awan-awan di angkasa tampak lebih gelap dengan rintik-rintik air mata yang dikandungnya. Pohon-pohon tampak murung dan lesu. Begitupun burung kutilang yang tiada bisa berkicau dengan merdu. Kamu pasti sedang dirudung rindu padaku? Iya kan, Say? Hehehe.” Kata Dinda senang.
“Tidaklah demikian adanya, Sayang. Kau tau? Jikalau pun mentari sudah tiada mampu menyinari dunia lagi, hatiku tetap akan bersinar terang untukmu. Jikalau awan-awan telah tiada lagi mengandung air hujan, sayangku padamu tidak akan ada kering-keringnya. Pohon-pohon yang lesu itu sebenarnya karena iri padaku yang telah mendapatmu. Begitupun burung kutilang itu, ia sebenarnya menyesali kicauannya yang kalah dengan nyanyian rinduku untukmu.”
“Ah gombal, Say! Hahaha,” kata Dinda dengan gembira. Aku pun ikut tertawa juga.
Waktu aku telepon itu, sebenarnya teman-temanku ada di kamar juga. Pada mulanya mereka memang mengacuhkanku. Mereka sedang asyik dengan aktivitas masing-masing. Mbah sedang menikmati sebatang dji-sam-soe sehingga asapnya mengepul-epul di udara. Dauz sedang menulis surat balasan untuk kekasih hatinya. Qurmo yang malam itu main ke kamarku sedang berada di kamar sebelah, menarik dana segar pada adik kelas buat tambahan beli nasi goreng. Sementara itu, Arfad sedang asyik curhat-curhatan sama Iwan di pagar tangga depan pintu kamar. Setelah mereka ikut juga mendengarkan pembicaraanku yang semakin hangat, barulah mereka tampak iri, terutama Qurmo yang sedang menjomblo tak laku. Kemudian mereka pun beramai-ramai datang menggoda, berteriak-teriak mengganggu dengan kata yang semena-mena, kecuali Arfad dan Iwan yang barangkali sedang terlena dengan curhatannya.
“Sai, sarungnya dipake dulu,” Qurmo berteriak memulai.
“Iyo, nek telpon rokok e dipateni disik ta, Sai.” Kali ini Daus yang berteriak sambil tertawa-tawa. Ia tahu Dinda melarangku merokok.
“Asu!” ucapku pelan pada mereka, sambil menutup rapat speaker handphone supaya tidak terdengar oleh sang kekasih hati yang berada di belahan bumi lainnya. “Dinda, sebentar ya! Aku tak mencari tempat yang aman dulu,” kataku kemudian dengan penuh perasaan pada sang pujaan.
“Iya, Sayang,” Dinda menjawab dengan begitu lembutnya.
Aku pun terus beranjak dari kamar lima, meninggalkan teman-teman pengganggu itu di dalamnya. Aku sempatkan melihat Mbah, Daus dan Qurmo, mereka pandangi aku dengan tersenyum, tatapan mata mereka seperti tatapan seekor burung elang yang telah berhasil dapatkan mangsa. Aku sempat juga menyaksikan seekor cicak di dinding, ia melihatku dengan tertawa riang, seakan telah tahu musibah yang akan kudapatkan. Sementara di luar angin malam bertiup kencang, mereka berderu-deru tak sabar ingin melihatku ditertawakan oleh teman-teman. Satu tempat yang ada dalam benakku waktu itu, tempat yang akan kugunakan berkasih-kasih dengan Dinda, kekasih hatiku. Ialah di atas genteng tempat wudlu musholla Alhusna.
“Kenapa keluar, Sai?” kata Arfad yang aku dapati ketika keluar kamar. Iwan ada di sampingnya.
“Mau cari tempat yang aman, banyak tikus di dalam,” jawabku pelan. Iwan dan Arfad melihatku dengan tertawa-tawa. Dengan handphone di tangan segera aku lompati pagar tangga di samping mereka, genteng tempat wudlu musholla ada di balik pagar itu.
Di atas genteng aku amati sekitarku. Di atas tampak bentangan cakrawala malam yang demikian indahnya, dengan sinar bulan yang mempesona, juga titik-titik cahaya bintang yang menyala dengan lembutnya. Di kejauhan tampak sawah-sawah dengan padinya yang seolah menari-nari di kegelapan, juga kunang-kunang yang sedang bekejar-kejaran. Sementara tidak jauh dari tempatku tampak bentangan rel panjang, di mana sesekali lewat kereta api dengan peluhnya yang bercucuran karena kecapekan berjalan mengangkuti penumpang. Begitu indah malam itu, seindah hatiku yang dihiasi bunga-bunga cinta bewarna ungu.
Dengan cekatan aku pun terus berjalan di atas genteng, seperti yang biasa kulakukan. Ah, tapi nahas. Kesenangan hati akan Dinda membuat aku tidak hati-hati berjalan, aku lupa kalau di genteng tempat wudlu itu ada beberapa titik yang berlubang. Aku pun terperosok di salah satu lubangnya. Kaki kananku seluruhnya telah masuk terkatung-katung di bawah genteng, sementara yang kiri tersangkut di atasnya. Duh, sakit sekali rasanya.
Dan ternyata ada yang lebih menyakitkan dari itu. Aku pun tak habis pikir, teman-temanku satu pun tiada yang menolongku. Mereka malah kelihatan senang dengan keadaanku. Begitu melihat aku terjatuh, Iwan dan Arfad yang melihatnya langsung ketawa sejadi-jadinya. Lebih-lebih Qurmo, daus dan Mbah, mereka malah bersorak-sorak gembira tiada hentinya. Sialan memang! Barangkali mereka berpikir aku terlalu sakti untuk kejadian semacam ini.
Yang mengherankan juga sebenarnya adalah sikapku sendiri. Saat kakiku terperosok ke lubang genteng, handphone waktu itu masih terpengang erat di tangan. Setelah kejadian itu, aku sama sekali tidak mempedulikan sakitku yang ternyata baru sembuh setelah seminggu. Aku pun masih melanjutkan telepon juga, bahkan sampai larut malam pula. Oleh karena ingin menjaga perasaan Dinda, aku sama sekali tidak menceritakan kejadian itu padanya, sampai kutuliskan kisah ini kurasa ia belum tahu juga. Dan layaknya pemuda yang sedang dilanda kasmaran lainnya, malam itu pun aku masih ketawa-tawa juga. Ah, cinta! Karenamu, aku telah menjadi sedemikian gila!
Saifuddin Du
Kalimongso, 27 Oktober 2011 18:42
Kalimongso, 27 Oktober 2011 18:42
0 komentar:
Posting Komentar