Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Sabtu, 21 Mei 2016

Selamat Jalan, Kiai Dim


Engkau bukan tipe seorang penurut, tapi pengeyel tulen. Tidak ada orang bisa memaksamu melakukan sesuatu, tanpa kau sendiri telah mafhum dengan perkara itu. Jikapun ada yang berhasil memaksamu melakukan perkara yang belum kau pahami, setidaknya kau pasti telah ngeyel lebih dulu, setidaknya kau telah sampaikan pikiranmu.

Engkau sangat susah percaya pada orang lain. Perilakumu laiknya intel, jiwamu auditor. Jikapun dalam rangka menahan diri kau harus menampakkan raut muka mengiyakan, setuju, manggut-manggut, sejatinya dalam batok kepalamu telah berjubel sejuta pertanyaan, prasangka, kecurigaan, dan konco-konconya.

Dalam menjalani kehidupan ini engkau menatap ke depan, menyongsong cita-cita. Engkau hati-hati dan waspada terhadap bahaya yang bisa menimpamu kapan saja dan dimana saja, dari atas-bawah, kanan-kiri, depan-belakang. Pantang bagimu menundukkan kepala, apalagi kepada kebohongan, kedzoliman dan kemungkaran.

Tapi, bagaimana jika ternyata ada seseorang yang sepenuhnya bisa mengontrol tingkah lakumu itu? Bisa membuatmu tunduk walaupun beliau tidak mengucapkan sepatah katapun, bisa membuatmu patuh dan percaya setiap yang beliau katakan, bisa membuatmu takdzim lahir dan bathin? Bagaimana perasaanmu padanya: benci ataukah cinta? 

Kalau penulis tak akan ragu lagi untuk bilang cinta, Kawan. Karena manusia tak akan selalu tangguh melakoni rangkaian jalan panjang kehidupan. Gusti Allah menciptakan manusia itu dloif (lemah) dan hati manusia selalu dibolak-balikan-Nya. Manusia itu butuh teman, butuh kekasih, dan terlebih lagi butuh mursyid dalam melakoni hidup.

Lalu bagaimana ketika sosok yang kau takdzimi lahir dan bathin itu, yang kau cintai dalam diam, yang menjadi salah satu pelabuhan rindumu, tiba-tiba kapundhut deneng ngersane Gusti Allah? Sangat tiba-tiba sehingga tak sempat kau cium tangan beliau untuk terakhir kali, tak sempat kau sowan ke ndalem beliau untuk minta petuah, doa, atau sekedar menatap wajah sepuh beliau yang teduh? Terlalu cepat rasanya, sehingga engkau yang sedang dalam perantauan jauh tak dapat memberikan penghormatan untuk terakhir kali.

Itulah gambaran sosok kiai yang penulis agungkan sekaligus rindukan dalam lika-liku kehidupan: KH. A. Dimyathi Romly (Kiai Dim) yang beberapa hari yang lalu (Rabu, 18 Mei 2016) dipanggil oleh pemiliknya yang sejati, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Semoga akhir hayat beliau husnul khotimah, amal ibadah beliau diterima Gusti Alloh, dosa-dosa beliau diampuni-Nya, dan beliau dikumpulkan dengan kanjeng nabi Muhammad dan guru-guru thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabaniyah di dalam syurga-Nya kelak. Amiin.

Ini hanya coretan seorang yang sama sekali bukan siapa-siapa dalam lingkaran kemuliaan Kiai Dim. Hanya coretan seorang santri yang kurang lebih hanya tiga tahun menimba ilmu Asrama Al-Husna Pondok Pesantren Darul Ulum (PPDU) Jombang yang diasuh beliau, yang sampai saat ini belum pernah sowan boyong karena takut kehilangan identitas santrinya, santri yang gampang kangen sama beliau sehingga menganggap PPDU sebagai rumah kedua dan menjadi bagian dari hampir setiap perjalanan pulang kampung ataupun mudiknya.

Tentu saja tulisan ini sama sekali bukan representasi kehidupan beliau yang luhur, yang manfaatnya bagaikan aliran "Kali Njoso" yang tiada putusnya. Santri yang selalu mengharapkan cipratan berkah dari beliau ini hanya ingin mengucapkan salam takdzim yang sebesar-besarnya kepada beliau. Dan kepada yang mulia, Ibu Nyai Hj. Muflichah Dimyathy beserta Gus-Gus dan Ning-Ning putra-putri beliau penulis mohon izin untuk menjadikan coretan yang sangat sederhana dan serba seadanya ini sebagai catatan tombo kangen dan sekaligus ungkapan duka-cita yang sedalam-dalamnya.

Tentang Peristiwa Subuh

Bagi santri putra Al-Husna, setidaknya yang aku rasakan, ibadah subuh berjamaah di masjid induk dan dilanjutkan istighosah bersama menjadi amaliyah khas yang utama. Kiai Dim dalam kondisi apapun, selalu menjaga jamaah subuh beliau. Kiai Dim sangat sering dawuh: "Hidup itu yang penting menjaga sholatnya, terutama sholat subuh. Subuh itu kan awal, kalau awalnya bagus insyaallah yang lain-lain juga ikut bagus."

Salah seorang teman (Iwan Purwanto) pernah menyaksikan Kiai Dim ngobrol sama Bu Nyai, dan kemudian menceritakan kepada teman-teman seangkatan kurang lebih: "Santri Al-Husna sekolahnya kudu bagus, kudu rajin," ngendikan Bu Nyai. Kemudian Kiai Dim dawuh, "Tidak, Bu. Santri Al-Husna yang penting subuhannya. Kalau sekolah bisa di luar pondok, tapi di pondok cirinya ya subuhan itu."

Nasihat Beliau yang Sering Diulang-Ulang

Ada enam poin yang beliau nasihatkan pada saat sowan waktu itu. Hal tersebut pernah dicatat oleh salah seorang teman, Irmawan Rofi'u Darojat. Belakangan aku baru tahu enam poin tersebut sering diulang-ulang oleh Kiai Dim dalam ceramahnya, diantaranya yang pernah aku ikuti: saat acara suwelasan di PPDU Jombang, saat acara thoriqoh di daerah Madiun, Kediri, Jember dan Malang. Enam poin tersebut adalah: SABAR (menahan diri), NERIMAN (ikhlas pada ketentuan Allah), LOMAN (dermawan), NGALAH (tidak egois atau mau menang sendiri), AKAS (rajin dan ringan tangan), dan TEMEN (jujur dalam perkataan maupun perbuatan).

Di kesempatan lain, seorang teman pernah menanyakan kepada beliau tentang kenapa ceramah beliau sering diulang-ulang. Beliau dawuh: "Ceramahku tak ulang-ulang supoyo kebuka sirrine." Penulis menyimpulkan kalau sifat-sifat yang sering diulang itu sudah terbuka sirri atau rahasianya, maka suatu sifat itu lama-lama akan manjing ke dalam perilaku, bagi beliau sendiri dan bagi jamaah yang mendengarkannya.

Doa untuk Para Santri

Beliau tidak menginginkan semua santri Darul Ulum jadi guru ngaji, beliau ingin profesi santrinya bermacam-macam. "Santri darul ulum itu gak kudu dadi guru ngaji. Alumni Darul Ulum profesine macem-macem, ono seng polisi, tentara, dokter. Koyo arek iki (sambil menunjuk ke arahku), wajah e dukun, tapi kerjone neng kantor pajek," dawuh beliau disambut tawa jamaah yang sowan waktu itu.

Kiai Dim tidak mempermasalahkan profesinya apa, yang penting bagaimana manfaatnya. Doa (kadang-kadang disampaikan dalam bentuk nasihat) yang sering beliau sampaikan dan sudah terkenal di kalangan santri antara lain, "Semoga santriku dadi santri sing bermanfaat. Apakah manfaat itu? Dimana-mana dibutuhkan orang, dimana-mana dicari orang, dimana-mana disenangi orang."

Guyonan Khas Kiai Dim

Mohon maaf, karena bagian ini sepertinya hanya terbatas pada cerita yang bersinggungan dengan penulis. Bukan karena apa-apa, alasan tulisan ini dibuat terutama adalah untuk tombo kangen yang sedalam-dalamnya pada sosok beliau. Selain itu, tentu saja karena Kiai Dim sosok yang sangat humoris, guyonan beliau sangat banyak yang sering beliau sampaikan saat ngaji Tafsir Yasin, saat ngendikan usai jamaah maghrib di musholla Al-Husna, saat sowan di ndalem beliau, dan berbagai kesempatan yang lain.

Seperti uraian salah satu poin di atas, penulis sering menjadi objek guyonan Kiai Dim. Bahkan beliau juga pernah merendahkan diri sendiri supaya lucu. Seperti waktu itu, beliau ngendikan kepada para santri Al-Husna ditemani Bu Nyai. "Kon gak popo elek, seng penteng bojone ayu. Koyo aku ngene lo, elek tapi oleh bojo ayu," kata beliau sambil melirik ke arah Bu Nyai. Dan barang tentu Bu Nyai senyum tersipu-sipu saat itu.

Dalam satu kesempatan yang lain, tepatnya saat Penulis dan teman-teman se-angkatan habis reuni di Pacet, kami menyempatkan diri sowan ke ndalem Kiai Dim. Secara bergiliran beliau menanyai semua yang hadir satu per satu. Saat tiba giliran Penulis, beliau ngendikan. "Lho awakmu. Jare arep pindah kuliah?" Sampek disini sebenarnya Penulis heran, kok beliau bisa tahu, padahal belum pernah cerita. "Enggeh Yai, kulo kaleh keluarga niku nggadah cita-cita supados kulo dados dokter." "Dokter?" kata beliau, dan kemudian melanjutkan, "Dokter iku yo, ganteng, putih, ..." Sampai di situ teman-teman sontak langsung tertawa terbahak-bahak. Dan saat ini pun penulis bisa mafhum kalau tidak jadi dokter: karena tidak ganteng dan putih, hehe.

"Sopo neng musholla iku?" Kiai Dim nimbali pada suatu ketika. Penulis yang berada di musholla langsung lari ke arah beliau, diikuti teman-teman yang saat itu sedang sambang pondok . "Lho, awakmu neng kene?" "Enggeh Yai." "Kok tambah ireng ae saiki," ngendikan beliau sambil tersenyum. Dan sontak langsung "Grrrr", temen-temen di belakang pada tertawa. Adapun Penulis senang luar biasa, karena itu tandanya Kiai Dim masih eling sama santri yang bukan siapa-siapa, yang sudah sekian tahun meninggalkan pondok ini.

Duh, Pak Kiai. Telalu cepat rasanya. Santri panjenengan ini masih belum tahu betul menjalani kehidupan dunia yang fana ini. Ingsun masih bingung untuk mencari tempat menyandarkan diri ketika lelah, ketika krisis percaya diri, sehingga panjenengan kemudian mengelus-elus hati ingsun, memompa kembali semangat ingsun. Nasihat dan doa siapa lagi yang akan menyertai setiap langkah pengembaraan ingsung, yang menunjukkan pada ingsun tujuan hidup yang mulia, seperti curahan nasihat dan doa panjenengan selama ini.

Pak Kiai, dulu panjenengan di acara muhadloroh akbar menutup ceramah dengan kata-kata mutiara: "Ketika lahir di dunia, kita menangis dan orang di sekitar kita tertawa. Maka saat kita meninggal nanti harus dapat sebaliknya, kita tersenyum dan orang di sekitar kita menangis." Kini ingsun mengerti keampuhan kata-kata itu di akhir hayat panjengan, saat ribuan jamaah yang datang melayat menangisi kepergian panjenengan.

Pak Kiai, ingsun yakin panjenengan telah tersenyum di alam barzah sana. Panjenengan telah dengan tenang kembali kehadirat Sang Pencipta. Semoga di kehidupan mendatang Gusti Allah memberikan ingsun berkesempatan untuk sowan di ndalem panjenengan, berkesempatan mencium tangan panjenengan, dan berkesempatan menyirami bunga-bunga panjenengan dan Bu Nyai di taman surga. Selamat jalan, Kiai Dim. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un


Salam takdzim yang sebesar-besarnya 
dari santrimu di Jayapura.
Sam Palgunadi
Wai Mhorock, 21 Mei 2016

0 komentar:

Posting Komentar