Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Minggu, 16 Oktober 2011

Manusia Dalam Sungai

Sebagai pengantar akan saya tuliskan terlebih dahulu sedikit historisitas catatan ini:

Pada mulanya, saya tertarik untuk menuliskan tema tulisan ini selelah membaca salah satu isi dari buku Sindhunata berjudul “Anak Bajang Menggiring Angin”. Tema tersebut menarik hati saya karena berisikan pelajaran hidup yang menurut saya berharga dan berguna. Selain itu, yang menarik juga adalah penyajian penulis yang menggunakan bahasa yang indah dan liriknya yang puitis dan ritmis. Akan tetapi, ketertarikan itu kemudian menimbulkan pertanyaan di hati kecil saya, apakah benar itu ketertarikan yang berasal dari hati sanubari ataukah jangan-jangan hanya sekedar dorongan nafsu yang tak terpuji? Pertanyaan tersebut menjadikan suatu keraguan pada diri saya, sehingga saya putuskan untuk menunda menulisnya. Saya pikir apalah artinya catatan itu nanti kalau hanya sekedar sebagai pemuas nafsu pribadi. Hanya beberapa saat saya terkurung dalam jeruji keragu-raguan itu, karena kemudian tidak lama setelah itu saya dapati juga Emha Ainun Nadjib menyampaikan keilmuan tentang tema yang kurang lebih sama. Mungkin itu suatu kebetulan, tetapi hati dan pikiran saya mengatakan lebih dari itu. Setelah saya pikirkan kembali pada akhirnya saya pun meyakini kalau harus menuliskan catatan ini. 

Berbicara mengenai historisitas sebenarnya saya ingin mengatakan satu hal. Bahwasanya proses seperti inilah yang seringkali saya tafsiri sebagai petunjuk (hidayah). Petunjuk (hidayah) sendiri menurut secuil pengetahuan dan sejejak pengalaman saya, mengandung makna proses, baik itu berupa perbuatan, kejadian alam atau lingkungan, yang meyakinkan hati dan pikiran sehingga menjadikan seseorang melakukan sesuatu tanpa keraguan.

Terkait tema sendiri, ada beberapa hal yang ingin saya catat di sini, baik itu dari bukunya Sindhunata ataupun keterangan Emha. Catatan ini berbicara mengenai fenomena alam yang oleh sebagian penghuni semesta disebut “sungai”. Dalam semesta selalulah terkandung makna dalam setiap peristiwa atau fenomena, termasuk di dalamnya sungai sendiri. Rahasia-rahasia dari sungai itulah yang akan coba saya uraikan di sini: tentang hulu-hilirnya, arusnya, isi di dalamnya, dan lain-lain. Dan tentunya dari rahasia-rahasia tersebut, kemudian sebisa mungkin diambil hikmah dan pelajaran untuk selanjutnya digunakan sebagai bekal dalam kehidupan.

Memahami sungai dapat dibayangkan ketika manusia melihat sebuah mata air. Ia mengalir, tetap mengalir dan terus mengalir. Adakalanya arusnya menantang ganasnya air terjun, mengarungi pegunungan dan bukit, juga mengalir damai di sawah-sawah dan hutan. Ia berjalan, tetap berjalan dan terus berjalan, dari tempat ke tempat, desa ke desa, kota ke kota, tetapi akhirnya ia terhenti di hamparan luasnya lautan. Dari sini seakan tiada beda memahami sungai dengan memahami manusia sendiri. Berlatih mengenal sungai sama artinya pula dengan berlatih mengenali manusia sendiri. Manusia memiliki asal dan tujuan layaknya sungai memiliki hulu dan hilir. Arus adalah layaknya peredaran waktunya dalam kehidupan, sedangkan kawah adalah tempat atau ruang keberadaannya.

Kemudian jika memang sungai itu seperti kehidupan manusia, yang jadi pertanyaan adalah apa hikmah dan pelajaran yang dapat di peroleh darinya? Beberapa hikmah dan pelajaran itu saya rangkumkan sebagai berikut:

Pertama. Sungai berhulu di sebuah sumber air kemudian hilirnya pun ke sumber air. Bermula dari mata airnya ia terus saja mengalir, dari waktu ke waktu ia pun semakin mendekati tujuannya. Pada hakikatnya hulu, hilir dan sungai itupun satu: air juga. Ada kalanya sungai terhenti atau diberhentikan, semisal di sawah-sawah, bendungan atau pemandian penduduk, tetapi justru ketika ia berhenti dan tidak mengalir lagi itu ia tidak disebut sungai lagi. Pun demikian harusnya dengan manusia, ia haruslah berani menjadikan Tuhan sebagai asal dan tujuannya. Pada hakikatnya ia pun satu dengan-Nya. Dari detik, ke menit, ke jam dan seterusnya, ia harus senantiasa mendekat untuk kemudian dapat bersatu dengan Tuhannya. Manusia tidak bisa dikatakan manusia ketika ia terhenti dari usaha bersatu itu.

Kedua. Sungai itu berjalan, tetap berjalan dan terus berjalan, tetapi sungai itu tetap berada di sana dan selalu berada di sana. Ia tetap menjadi sungai yang itu-itu juga. Dalam arusnya sungai telah melanglang buana, mengarungi gunung, bukit, lembah, hutan dan sawah. Tetapi ia tetap sungai yang itu-itu juga. Perihal ini mengandung maksud bahwasanya manusia selayaknya tetap menjadi dirinya sendiri. Dimanapun ia berada dan kemanapun tujuannya, manusia haruslah tetap mempertahankan dirinya. Buah kenikmatan apapun yang telah manusia petik, karang kebahagiaan apapun yang telah manusia dapat, harusnya tidak pernah merubah ia menjadi orang lain dan meninggalkan dirinya sendiri.

Ketiga. Di balik kesuciaannya, di kedalaman sungai terletak berbagai kekayaan: beribu-ribu ikan yang berenang di antara bebatuan juga mutiara, intan dan berlian. Tetapi yang ditampakkannya hanyalah secuil kesederhaan, dan juga arusnya yang hanya berada dalam kekeruhan. Kemudian apa yang ia dapatkan? Langit dan angkasa raya pun berkaca padanya dan udara juga berenang-renang menyelami permukaannya. Manusia pun demikian, ketika ia mampu bertahan dalam kesederhanaan diri, ia sembunyikan segala kekayaan dan kelebihan yang ia punyai, semua penghuni langit pun akan melihatnya, berguru dan menirunya, mendoakannya bahkan iri kepadanya.

Keempat. Sungai senantiasa berjalan, tampak ia seperti mencari dan merindui sesuatu. Akan tetapi justru karena pencarian dan kerinduaannya itu, sungai selalu mendapatkan sesuatu yang baru: teman baru, lingkungan baru, kekayaan baru. Perumpamaan ini paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, manusia haruslah senantiasa berjalan supaya selalu bisa ia dapatkan pengetahuan baru, teman baru dan pengalaman baru yang tak lain semua itu merupakan anugrah dan kekayaan yang dimilikinya. Kemudian yang kedua, manusia harus selalu berhijrah dari keburukan-keburukan yang ada padanya sehingga nantinya akan ia temui kebaikan dan kemulyaan dalam dirinya.

Kelima. Berbicara mengenai sungai tak ubahnya berbicara mengenai air. Sungai itupun dalam kenyataannya memang berupa air yang mengalir. Salah satu sifat yang dimiliki air yaitu mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ini adalah arti tentang kerendahan hati (tawadhu'). Tetapi kemudian air pun akan menjadi lebih tinggi ketika ia menguap menjadi awan. Ini menunjukkan manusia yang bersedia merendahkan hatinya ia akan diangkat derajatnya oleh Tuhan pencipta alam semesta. Selain dari pada itu, banyak juga istilah-perumpamaan berkaitan dengan air yang dapat kita jadikan pelajaran dari padanya. Oleh karena keterbatasan saya, istilah-perumpamaan itu tidak saya tuliskan di sini.

Tentu masih banyak lagi rahasia-rahasia sungai yang belum saya sebutkan di sini. Paling tidak dari kekurangan-kekurangan tersebut, saya harapkan menjadi api semangat pada diri saya pribadi untuk senantiasa belajar dan belajar, belajar tentang manusia juga belajar tentang alam semesta. Bagaimanapun kehidupan manusia di dunia ini diatur oleh hukum alam (sunnatullah). Ketika manusia ingin memenangkan kehidupan, tentu sebelumnya ia harus belajar tentang alam terlebih dahulu. Kemudian dalam keyakinan saya, ketika manusia telah tinggal bersama alam, belajar tentang alam dan juga merasai alam, betapa akan terbuka sejuta rahasia tentangnya. Wallahu a’lam.


Pondok Aren
15 Oktober 2011
20:21

0 komentar:

Posting Komentar