“Saaae,” teriak salah seorang teman memanggilku.
Aku masih antri mandi maktu itu. Baru saja aku balik dari pekarang bunga milik pak kiai. Setiap pagi sehabis mengikuti jama’ah subuh dan istighosah biasanya aku memang menyempatkan diri untuk menyirami tanaman-tanaman bunga di halaman depan ndalemnya pak kiai. Saat seperti itu santri-santri yang lain sedang asyik dengan aktivitasnya masing-masing: mengaji Al-Qur’an, menyapu halaman, mengumpulkan dan membuang sampah, mengobrol dan bercanda sana-sini, atau menyiapkan tugas dan pelajaran sekolah. Yang terakhir ini adalah yang paling jarang kutemui pada santri asramaku, Al-husna ponpes Darul Ulum.
“Saaae,” kembali terdengar panggilan untukku.
Segera kuketok pintu salah satu kamar mandi. “Heh, yang mandi cepetan!” Pintaku sambil berteriak. Mereka yang mandi belakangan biasanya adalah santri dari sekolah yang berbeda denganku: MTs, MA, SMK Telkom, atau SMA Darul Ulum I. Sekolah-sekolah tersebut umumnya memang jam masuknya lebih akhir. Di sekolahku sandiri, SMA Darul Ulum II, jam 06.45 semua santri harus sudah berada di sekolah. Sebelum pelajaran dimulai semua santri diwajibkan mengaji bersama di kelasnya masing-masing.
“Sai, sudah nih.” Kata Iwan, salah seorang teman sekamarku. Ternyata dia yang mandi di kamar mandi yang kuketok pintunya tadi.
Aku segera mandi. Tidak lama, barangkali cuma semenit aku mengguyur tubuhku dengan air dan sabun. Hal ini telah menjadi kebiasaan hampir semua santri. Mereka yang mandi lama pasti akan digedor-gedor pintunya, diteriaki semena-mena, dilempar pakai bola atau berbagai keusilan lainnya. Lagi pula saat itu aku sudah ditunggu teman-temanku.
“Saaae, cepaat!” Kali ini kudengar suara lebih banyak dengan nada yang lebih tinggi.
Aku yang baru selesai mandi segera menuju kamar. Dengan tergesa-gesa aku pakai celana dalam, celana dan kaos dalamku. Baju tidak kukenakan sempurna, kancingnya akan kupasangkan sambil jalan. Begitu juga dengan ikat pinggang, barang tipis-panjang itu kumasukkan ujungnya hanya di satu lubang celana. Segara kuambil tas, kupakai sepatu tanpa kaos kaki, dan bergegas menuju ke kerumunan teman-temanku.
“Ayo, Sai! sudah terlambat ini.” Ajak seorang teman yang telah melihat aku jalan.
Kami pun mulai berjalan. Tanpa dikomando kami yang berasal dari sekolah yang sama berjalan sambil berderet menyerupai peserta gerak jalan saat tujuh belasan. Sambil menyempurnakan seragamku sempat kuamati barisan kami, ada tiga puluhan santri. Jumlah itu terdiri dari hampir seluruh santri kelas tiga, juga sebagian besar kelas satu dan dua. Kasihan memang, mereka yang adik kelas terpaksa harus ikut terlambat karena ulah kakak kelasnya.
Di tengah perjalan saat melewati sungai rejoso, aku baru tersadar banyak yang aku lewatkan suasana pagi itu. Saat sang mentari pagi mulai menebarkan pesonanya. Ia tampakkan sinar yang lembut menyeruak menghangatkan alam raya. Cakrawala pun membentang luas di angkasa. Ia selimuti dunia dengan hamparan keemasan mega. Burung kutilang sedang asyik bernyanyi mengisi heningnya pagi hari. Pohon-pohon menjulang tinggi ingin menggapai langit tapi tak sampai. Ranting-rantingnya yang terdorong hembusan angin pun tampak melambai-lambai. Ah, begitu indahnya suasana pagi seperti ini.
***
Pintu gerbang utama sekolah sudah tertutup saat kami sampai di depan sekolah. Bel tanda masuk memang sudah terdengar sekian menit yang lalu saat berada di perjalanan.
“Cepaaat!” Terdengar suara keras dari sebelah kanan kami. Pak Atim, penjaga sekolah, telah berdiri di gerbang samping sekolah. Suaranya yang keras memang telah menjadi tugasnya dalam menghadapi kenakalan anak SMA.
“Wah, Pak Atim mengamuk. Alamat hapalan yasin ini.” Salah seorang dari kami berkata sambil diikuti tawa yang tertahan dari teman yang lain.
Terlambat memang sudah seringkali kami rasakan, sehingga tidak begitu membebani pikiran kami. Hampir setiap hari, khususnya di tahun ketigaku, kami secara bersama-sama terlambat sekolah. Barangkali karena usia kami yang masih terlampau muda yang menyebabkan ulah kami ini. Menurut peraturan harusnya setiap keterlambatan diganjar dengan satu poin pelanggaran. Ketika seorang siswa poin pelanggarannya telah mencapai angka tiga puluh lima, itu berarti ia harus mencari dan pindah ke sekolah lain alias drop-out. Akan tetapi pada prakteknya tidaklah seketat itu, kadang siswa yang terlambat disuruh lari-lari di lapangan basket, hapalan istighosah atau surat yasin, atau kadang juga tidak di hukum apapun.
“Siniii, baris empat banjar!” Sambil menunjuk ke halaman Pak Atim mulai mengomando dengan suaranya yang keras.
Kami masih dengan santai mengikuti instruksinya seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak lama berselang aku dan teman-teman pun telah berbaris sesuai keinginannya. Aku ada di barisan kedua dari akhir waktu itu. “Ini tidak seperti biasa,” pikirku, “kalaupun akan dihukum dalam bentuk apapun biasanya tidak disuruh baris seperti ini terlebih dahulu.”
“Siapa yang memimpin kalian?”
Awalnya kami hanya terdiam.
“Kalian tidak dengar? Jawab! Siapa yang memimpin kalian?” Kali ini suara pak Atim lebih kencang sambil memelototi kami.
Pertanyaan itu konstan membuat semua teman menoleh ke arahku dengan tersenyum mencurigakan.
“Yang benar saja!” gumamku, meskipun sebenarnya aku tahu mereka hanya bercanda. Aku pikir-pikir benar juga mereka, akulah yang paling sering menyebabkan mereka terlambat. Lagi pula di asrama aku menjabat sebagai wakil ketua asrama. Ketuanya sendiri tidak sekolah di sini.
“Kamu, siniii!” Pak Atim memanggilku.
Dengan berat aku menyeret kakiku ke arahnya. Dihadapanku kemudian Pak Atim berkata:
“Aku dengar, keterlambatan anak-anak Al-husna ini ada yang mengkoordinir. Benar itu?”
“Maksudnya gimana, Pak?” Kataku. Kuamati wajah Pak Atim saat itu tampak lebih seram dari biasanya. Ia melotot ke arahku. Tampaknya kali ini ia benar-benar marah.
“Ada yang melapor, katanya anak Al-husna yang berangkat sekolah duluan diancam oleh kakak kelasnya? Jangan macam-macam kalian!”
Pernyataan itu membuat aku kaget. Aku pikir teman-temanku yang mendengarnya akan demikian juga. Keseraman Pak Atim membuatku sedikit ciut juga. “Keterlaluan memang masalah ini, siapa juga melapor. Kurang ajar! Sialan! Uhaasu! Akan lebih panjang lagi kalau perkara ini nanti sampai ke guru atau kepala sekolah”, kataku dalam hati. Melihat aku hanya diam Pak Atim pun kemudian memberondongku:
“Siapa yang mengancam itu? Kamu? Jawab dengan jujur! Jangan diam saja!”
“Tidak, Pak. Tidak benar kabar itu." jawabku, "Siapa yang mengatakannya?”, lanjutku kemudian.
Kali ini aku pun sedikit naik darah. Siapa juga yang melakukannya, masa aku harus mengakui perbuatan yang tidak pernah kulakukan. Aku yakin teman-temanku kelas tiga yang lain pun demikian juga. Selama ini semua berjalan normal-normal saja, dalam hal ini tidak pernah ada yang memaksa siapa pun. Terserah bagi adik kelas yang ingin berangkat lebih dulu atau menunggu anak kelas tiga. Kalau pun mereka memutuskan untuk menunggu, itu biasanya karena mereka sungkan, bukan karena ancaman.
“Jangan bohong kamu! Jawab jujur! kamu yang melakukannya?”
“Tidak, Pak. Bukan saya. Tidak benar kabar itu.”
Pak Atim kemudian diam sejenak. Tampaknya ia sedang berpikir. Barangkali karena waktu yang sudah tidak memungkinkan ia mengatakan:
“Ah, ya sudah. Sekarang semua masuk kelas! Jangan terlambat lagi kalian!” Kemudian kepadaku Pak Atim melanjutkan: “Khusus untukmu, nanti jam istirahat temui aku di depan ruang BP!” Setelah itu ia terus pergi meninggalkan kami.
Sambil mendongkol aku berjalan menuju kelas. Teman-temanku yang lain hanya diam, tidak sepatah kata pun mereka ucapkan. Mereka juga langsung berjalan menuju kelas masing-masing. Saat aku masuk kelas, pelajaran pertama sudah dimulai. Aku pun terus duduk mengikutinya.
Pondok Aren
11 Oktober 2011
16:28
Pondok Aren
11 Oktober 2011
16:28
0 komentar:
Posting Komentar