Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Selasa, 04 Oktober 2011

Mengenal Diri Dengan Mengenali Bayi

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Itu salah satu bunyi dari hadits nabi Muhammad saw. Secara umum hadits tersebut mengandung pengertian bahwa ketika baru dilahirkan ke alam dunia setiap manusia adalah suci. Semua manusia terlahir sama, tanpa membedakan agama, suku atau bangsa bapaknya, juga tanpa memandang apakah ia dilahirkan dari hubungan perkawinan yang sah atau bukan. Kata “fitrah” mengandung arti tentang kesucian bayi secara lahir dan batin, sebagai makhluk yang polos dan tanpa dosa. Adapun secara khusus saya juga mempunyai pandangan tentang hal ini, berikut adalah urain saya tentang pandangan tersebut.

Pada mulanya, saya tertarik untuk menuliskan pokok bahasan ini ketika saya mendengarkan pengajian dari salah seorang budayawan, Emha Ainun Nadjib. Dalam sebuah forum beliau mengatakan, “Mendekatlah engkau dengan bayimu, jika engkau ingin mengenali dirimu.” Selain itu, yang juga menginspirasi saya adalah cerita ‘Dewa Ruci’ dalam dunia pewayangan. Dalam cerita disebutkan kisah tentang seorang Bratasena (salah seorang Pandawa) yang mendapatkan kesempurnaan hidup setelah ia mengenal dan bersatu dengan bayinya sendiri. Bayi tersebut dalam cerita dikenal sebagai Dewa Ruci.

Kedua inspirator, baik itu Emha ataupun cerita Dewa Ruci, mengarah pada satu tujuan yang sama yaitu usaha menemukan jati diri. Pun demikian dengan caranya, keduanya berbicara tentang bayi yang tidak lain adalah diri orang yang bersangkutan saat baru saja dilahirkan. Kedua inspirator menyebutkan bahwa jika seseorang ingin menemukan jati dirinya dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup, maka ia harus mendekat atau bahkan bersatu dengan bayinya sendiri. Ia harus mengenal dan kemudian merasai dirinya ketika masih bayi.

Kemudian akan timbul pertanyaan, kenapa untuk menemukan jati diri seseorang harus mendekat atau bersatu dengan bayinya sendiri? Hal ini akan berkaitan dengan kriteria bayi yang akan coba saya sebutkan nanti. Tentu saja mengenali bayi bukan merupakan satu-satunya usaha, tetapi hanya salah satu dari serangkaian usaha pencarian jati diri. Jika merujuk pada cerita Dewa Ruci, mengenal dan bersatu dengan bayi juga hanya merupakan salah satu bagian dari usaha, dimana masih banyak usaha-usaha lain sebelum atau sesudahnya yang tidak saya bahas disini. Demikian juga halnya dengan kriteria bayi yang akan saya sebutkan nanti, itu hanya sebatas usaha yang saya lakukan. Saya pun mengharapkan komentar, masukan atau tambahan dari anda yang membaca tulisan ini.

Pengamatan saya tentang bayi menghasilkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut paling tidak akan berubungan dengan salah satu dari tiga hal: tingkah laku, sifat, atau keistimewaan bayi. Berikut adalah beberapa kriteria yang saya dapatkan dari bayi berikut sedikit penjelasan:
  1. Bayi seringkali menangis. Ini merupakan tanda kelembutan hati, dimana semakin lembut hatinya, semakin peka ia. Kemudian jika ia telah peka, semakin mudah baginya merasakan getaran-getaran kelembutan Tuhannya, dan akhirnya semakin mudah pula ia menitikkan air mata.
  2. Bayi merupakan sosok yang lemah. Untuk makan minum ia tidak bisa, bahkan ketika buang air besar atau kecil sekalipun ia membutuhkan orang lain (orang tua atau pengasuh) untuk membersihkannya. Hal ini saya tafsiri dengan bayi sebagai sosok yang merasa dirinya lemah. Ia tiada kuasa (mampu) untuk melakukan apa-apa.
  3. Bayi merupakan sosok yang bodoh. Dengan kata lain, ia merasa dirinya bodoh. Maka ia perlu belajar dan belajar. Mulai dari belajar melihat, minum, berbicara dan lain sebagainya.
  4. Terhadap urusan-urusan dunia, bayi tiada pernah merasa. Oleh orang tuanya, si bayi dibelikan baju, susu, mainan atau yang lain tapi ia tidak pernah merasai itu miliknya. Ketika kehilangan si bayi pun tiada pernah menangisinya.
  5. Bayi mempunyai sifat menerima. Makan dan minum si bayi cukup dengan susu, tidak pernah ia menangis minta selainnya. Dari segi pakaian, bayi selalu menerima apa yang dikenakannya, tidak pernah memilih apalagi memprotesnya.
  6. Dari segi keistimewaannya, bayi merupakan sosok yang paling diperhatikan oleh orang tua. Ketika seorang anak yang masih bayi menangis, orang tua akan sibuk untuk merawat atau menghiburnya. Bayangkan ketika anak tersebut berumur sepuluh tahun atau telah dewasa, orang tua cenderung akan membiarkannya.
  7. Bayi juga selalu dipenuhi semua kebutuhannya. Salah satu contoh real yang ada pada masyarakat asal saya yaitu: setiap ada kelahiran, oarang berbondong-bondong datang untuk menengok. Mereka tak lupa pula membawa bawaan untuk keperluan si bayi, entah itu sabun, minyak telon, detergen atau yang lain. Belum lagi pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh orang tuanya.

Kritera-kriteria yang saya sebutkan di atas, saya batasi pada kriteria-kriteria yang berkaitan dengan usaha pencarian jati diri. Jika dicermati lagi, selain yang tersebut itu juga akan didapatkan kriteria lain yang merupakan kekurangan si bayi. Akan tetapi, kekurangan itu tidak lain adalah menunjukkan kepolosannya sebagai bayi. Hal ini saya tafsiri sebagai: betapa pun kesempurnaan hidup seseorang masih akan ditemukan kekurangan padanya. Dengan kata lain, kesempurnaan hidup sebagai manusia justru ditunjukkan dengan kekurangan yang dimilikinya.

Sekarang kembali kepada pertanyaan kenapa seseorang harus mengenal atau bersatu dengan bayinya. Pertama, hal ini akan saya hubungkan dengan hakekat kehidupan yang dalam falsafah jawa disebut sebagai “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan hidup). Istilah tesebut mengandung pengertian bahwa manusia itu berasal dari Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Dengan kata lain, asal dan tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhannya. Pada saat itulah manusia dikatakan telah menemukan jati dirinya atau telah mencapai kesempurnaan hidupnya. Kemudian akan timbul pertanyaan, kapankah manusia dikatakan paling dekat dengan Tuhannya? Jawabnya tentu ketika masih bayi, ketika seseorang masih dalam keadaan fitrah (suci). Itulah alasan kenapa manusia harus mengenal dan bersatu dengan bayinya sendiri.

Alasan kedua didasarkan pada kriteria-kriteria yang dimiliki si bayi. Jika diamati tingkah laku dan sifat bayi yang telah saya sebutkan, beberapa diantaranya tidak lain merupakan hakekat manusia: fitrah, dlo'if (lemah), jahil (bodoh), dan faqir (membutuhkan pertolongan orang lain). Dengan demikian, mengenali dan merasai sifat dan tingkah laku bayi merupakan jalan untuk mengenali diri sendiri. Setelah dapat mengenali hakekat dirinya sebagai manusialah, baru kemudian seseorang dapat mengenali Tuhannya. Kemudian sebagai akibat dari jalan yang ditempuhnya itu, ketika seseorang telah bersatu dengan bayinya maka ia dapat memperoleh keistimewaan seperti yang dimiliki bayinya itu. Wallahu a’lam.


Pondok Aren
04 Oktober 2011
11:05

0 komentar:

Posting Komentar