Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk berpikir. Begitu agung karunia Tuhan itu. Akal membedakan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Akal juga yang bisa menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Maka, sangat merugi manusia yang tak mau menggunakannya. Terkait dengan itu yang jadi permasalahan adalah apakah manusia telah menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya sehingga mengarahkannya kepada kebenaran, atau jangan-jangan akal malah menjerumuskannya kepada kesesatan? Lalu apakah salah manusia yang telah menggunakan akalnya walau itu untuk menanyakan hal yang tidak seharusnya? Barangkali itulah pokok bahasan yang ingin saya uraikan disini.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya teringat pemikiran yang pernah disampaikan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam salah satu forumnya, Kenduri Cinta. Barangkali saya kurang cermat mengkajinya maka anggap saja ini versi saya. Dalam pemikirannya Cak Nun menghubungkan akal dengan hati dan mengibaratkannya dengan perumpamaan dalam Al-Qur’an yaitu: Al-misbahu fi zujajah (pelita dalam kaca), gambarannya barangkali mirip lampu bolam. Al-mishbah (pelita atau cahaya) diartikan dengan hati dan zujajah (kaca) diartikan dengan akal atau pikiran. Maksud dari perumpamaan tersebut yaitu: kalau hati merupakan pelita yang terdapat dalam kaca (pikiran), maka hati disini berfungsi untuk menyinari pikiran dan pikiran berfungsi untuk melindungi hati. Sedangkan hati sendiri (dalam hal ini hati nurani) merupakan sumber kebenaran yang berasal dari Tuhan (dengan kata lain hati juga sebagai penangkap cahaya kebenaran dari Tuhan). Hal ini berarti kemampuan hati untuk menangkap cahaya dari Tuhan juga tergantung dari bersih atau tidaknya kaca (pikiran) itu tadi. Jadi, dari perumpamaan tersebut dapat diketahui bahwa agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan dalam berpikir manusia harus mendengarkan suara hatinya. Pikiran juga harus senantiasa dijaga kebersihannya supaya memudahkan hati menerima petuntuk (hidayah) dari Tuhan. Lalu, yang dimaksud dengan pikiran yang kotor itu apa, yaitu apabila dalam berpikirnya hanya sekedar untuk mencari pembenaran, untuk menjelek-jelekkan, untuk merendahkan atau mengalahkan orang lain.
Akal memang diberikan kepada manusia untuk berpikir. Banyak sekali keterangan dalam Al-Qur’an mengenai hal itu. Saya sendiri sangat menaruh hormat kepada manusia yang mau menggunakan pikirannya, apapun yang dipikirkannya itu. Dalam hal ini, memang akallah yang akan mengarahkan kepada manusia supaya memperoleh petunjuk Tuhan, dan peluang untuk mendapatkan petunjuk itu masih akan terbuka selama manusia masih mau menggunakan pikirannya. Bisa jadi atau mungkin juga sering kali petunjuk itu datang setelah manusia berada dalam kesesatan. Hanya saja yang perlu dicermati disini adalah tujuan dari manusianya sendiri dalam menggunakan pikiran itu, tentunya petunjuk itu tidak mungkin datang bagi manusia yang hanya ingin mencari pembenaran, menjelek-jelekkan, merendahkan atau ingin mengalahkan orang lain.
Untuk menggambarkan tetang bermacam-macamnya pikiran saya ingin menuliskan pengalaman yang menurut saya menarik. Selain pengalaman itu sendiri disini saya juga ingin memberikan jawaban atas pertanyaan yang terdapat dalam pengalaman tersebut. Suatu ketika saya berkunjung ke salah seorang teman di Surabaya. Di salah satu pertemuan saya dengan teman tersebut ialah tepat di saat salah seorang temannya bertanya kepadanya. Kurang lebih pertanyaan itu demikian: Benarkah Al-Qur’an itu petunjuk? Kalau iya, bagaimana dengan ayat yang bunyinya alif-laam-miim (ayat pertama surat al-Baqarah, Ali Imran atau yang lain) yang katanya tidak punya arti? Bagaimana mungkin petunjuk itu tak punya arti? Bukankah itu membuktikan bahwa Al-Qur’an tidak bisa dikatakan sebagai petunjuk?
Bagi saya tentu boleh saja bertanya seperti itu selama memang bertujuan mencari kebenaran seperti yang disebutkan dalam keterangan di atas. Saya yang memang sejak kecil diarahkan untuk meyakini Al-Qur’an sebagai petunjuk, terus terang merasa tertunjuk mendengar pertanyaan itu. Tetapi justru hal itu yang membuatnya menarik, rasanya baru pertama kali saya mendengar pertanyaan semacam itu. Setelah mendengar pertanyaan itu, teman saya menjawabnya tetapi tidak memuaskan penanya. Saya sendiri waktu itu juga memberikan jawaban. Barangkali jawaban saya waktu itu juga belum bisa memuaskan penanya. Saya katakan demikian karena setelah menjawab pertanyaan itu saya langsung meninggalkan tempat karena memang ada teman lain yang sedang menunggu. Di sini saya akan menuliskan kembali dan melengkapi jawaban itu. Sebagai gambaran, jawaban yang akan saya tuliskan di sini hanya terkait dengan penggunaan dalil aqli (akal pikiran) bukan dalil naqli (nash Al-Qur’an atau Hadits).
Al-Qur’an secara istilah syari’at (terminologi) diartikan sebagai kalam Allah yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan perantara malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia dan yang membacanya bernilai ibadah. Dari pengertian tersebut didapatkan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk yang berisi surat-surat dari al-Fatihah sampai dengan An-naas, maka secara logika tidak bisa Al-Qur’an dilihat dari satu ayatnya saja. Sebagai perbandingan, Undang-Undang atau buku-buku yang lain juga tidak bisa dinilai demikian. Bayangkan jika Al-Qur’an, Undang-Undang atau buku-buku yang lain itu dilihat dari satu kalimatnya saja, misalkan satu kalimat tentang bersetubuh atau menyusui, tidak bisa kan Al-Qur’an, Undang-Undang atau buku-buku itu sebagai buku porno. Itulah gambarannya.
Dari segi yang lain, pertanyaan di atas juga dapat dijawab demikian: Ayat yang bunyinya alif-laam-miim itu bisa juga dikatakan petunjuk bagi manusia. Petunjuk bahwa Allah mempunyai ilmu yang luas sedangkan manusia berada dalam keterbatasan, ayat itu sebagai bukti bahwa karena luasnya ilmu Allah maka masih ada rahasia yang tidak diketahui manusia. Dan dalam kenyataannya pun memang demikian.
Itulah jawaban dari pertanyaan dalam pengalaman saya. Karena keterbatasan saya, bisa jadi jawaban tersebut juga belum memuaskan penanya. Akan tetapi jawaban dari orang lain yang lebih kompeten saya yakin nantinya bisa memberikan hasil berbeda. Dari situ saya ingin menyimpulkan: Suatu pandangan dalam agama adalah bagian dari pandangan hidup yang memang sangat kompleks, menyangkut orang banyak dan di dalamnya terdapat banyak pertanyaan. Tentunya jawaban yang hanya dari seorang saja (kalau jawaban itu tidak memuaskan atau tidak masuk akal), tidak bisa menyimpulkan bahwa pandangan itu salah atau keliru. Hal ini karena di atas langit masih ada langit. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar