Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Kamis, 16 Juni 2011

Syeikh Siti Jenar Vs Bhiksu Tong

Judul di atas tiba-tiba terlintas dalam benak saya terkait pemikiran tentang ketuhanan. Menggelitik memang, jujur saya sendiri menjadi tertarik untuk menuliskan pandangan itu  setelah terlintas judul tersebut. Kata vs (versus) disini tidak saya artikan ‘melawan’ seperti dalam kamus bahasa Inggris tetapi ‘memperbandingkan’ (maksudnya memperbandingkan antara Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong), terserah saja bagi yang tidak terima, hehe. Sama halnya dengan tulisan saya yang berjudul ‘ngopi dan ngerokok, adakah hikmahnya?’, tulisan ini juga mengungkapkan sudut pandang saya. Hanya saja barangkali tulisan ini lebih esensial karena berkaitan dengan ketuhanan. Saya yakin banyak ahli yang telah menguraikan panjang lebar pandangannya mengenai pokok bahasan ini, untuk itu saya akan sangat terbuka dengan semua komentar dan masukan.

Syeikh Siti Jenar merupakan salah seorang tokoh fenomenal dalam proses penyebaran agama Islam di pulau jawa. Tokoh ini disebutkan dihukum mati oleh walisongo karena ajarannya yang dianggap meresahkan. Orang awam yang belum sampai tingkat keimanannya bisa jadi tersesat oleh karena ajaran Syeikh Siti Jenar. Ajarannya yang terkenal adalah ‘wahdatul wujud’ atau ‘manunggaling kawula gusti’ (bersatunya hamba dengan Tuhannya). Lain halnya dengan Syeikh Siti Jenar, Bhiksu Tong (Tong Sam Cong), meski cuma legenda yang saya sendiri belum tau kebenarannya, merupakan seorang tokoh agama Budha. Salah satu ajaran yang dibawanya (yang barangkali juga ajaran Budha) adalah teori ‘kosong adalah berisi, berisi adalah kosong’, sebuah ajaran yang juga terkenal tapi seolah tak punya makna jika diamati secara sederhana. Dari kedua ajaran yang telah disebutkan di atas, disini saya akan mencoba menggali maknanya dan kemudian membandingkannya. 

Sebagai gambaran, dalam upaya menggali makna dari ajaran ‘manunggaling kawula gusti’ dan ajaran ‘kosong adalah berisi, berisi adalah kosong’, saya hanya menggunakan satu kerangka berpikir. Hal ini karena kedua ajaran tersebut berdasarkan kerangka berpikir yang saya gunakan akan mengarah pada makna yang sama dan saling berkaitan. Di sinilah yang sebenarnya ingin saya ungkapkan, di mana setelah membandingkan ajaran dari kedua tokoh di atas, ternyata dihasilkan kesimpulan bahwa kedua ajaran mengarah pada makna sama dan saling berkaitan.

Kerangka berpikir yang saya gunakan dimulai dari analisis ilmiah yang pernah saya lihat dalam salah satu video Harun Yahya. Di situ dijelaskan bahwa ketika manusia melihat suatu benda, maka bayangan dari benda tersebut akan ditangkap oleh retina mata. Kemudian retina akan menyampaikan apa yang ditangkapnya ke otak. Ketika sampai di otak, bayangan benda yang disampaikan itu pun dalam keadaan terbalik dari aslinya. Setelah itu otak akan mengolah dan menerjemahkan bayangan yang diterimanya itu sehingga benda tampak seperti yang ada dalam penglihatan.

Dari penjelasan di atas, satu hal yang tampak dan nantinya menjadi pertanyaan. Didapatkan bahwa yang ada dalam penglihatan manusia adalah hasil olahan dan terjemahan otak manusia yang terbatas. Kalau hasil olahan dan terjemahan otak, berarti itu bukanlah wujud sebenarnya dong. Ketika manusia mendengar, menyentuh, mencium atau yang lain dengan kerangka berpikir yang sama nantinya juga akan menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Lalu yang jadi pertanyaan, apa yang sebenarnya dilihat, didengar, disentuh manusia itu? Bukankah itu menunjukkan ketiadaan manusia (alam semesta) dalam keadaannya? Bukankah itu menunjukkan kekosongan manusia (alam semesta) dalam keisiannya? Itulah yang dimaksudkan dengan teori ‘berisi adalah kosong’. Lalu akan timbul pertanyaan lagi, siapakah yang ada dalam kekosongan itu? Bukankah selalu ada Dzat yang Maha Menguasai? Itulah yang dimaksudkan dengan teori ‘kosong adalah berisi’.

Dengan kerangka berpikir dan pertanyaan yang sama, akan didapatkan pula makna ajaran ‘manunggaling kawula gusti’. Kerangka berpikir di atas menunjukkan ketiadaan manusia dalam keadaannya. Ketika manusia (alam semesta) tiada maka yang ada hanyalah Tuhan penguasa alam semesta. Jika begitu, maka manusia telah melebur menjadi satu dengan Tuhannya (wahdatul wujud).

Itulah, sebuah pandangan yang barangkali membingungkan. Di sini saya tidak dalam posisi mempengaruhi anda yang kebetulan membaca tulisan ini. Walaupun saya pernah gemetar karena memikirkan hal tersebut, tetapi yang lebih ingin saya ungkapkan berkaitan dengan ajaran ‘manunggaling kawula gusti’ dan ‘kosong adalah berisi, berisi adalah kosong’ adalah maknanya, perbandingannya dan barangkali kesimpulannya. Dua buah ajaran dari Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong (meski cuma legenda), dua orang tokoh yang sangat berbeda, bukan hanya dari segi kepercayaannya, tetapi juga asal-usulnya, zamannya dan masih banyak lagi. Dalam kenyataannya (berdasarkan kerangka berpikir dalam tulisan ini tentunya), kedua ajaran mengarah pada makna yang sama dan saling berkaitan. Dan Tuhan memberikan ilmu (rahasia)-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar