Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Catatan dari Sebuah Tembang

(Catatan ini secara khusus saya tujukan kepada teman sekaligus inspirator saya, Johnny Wirjosandjojo.)

Berbeda dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya, catatan ini lebih berisi ulasan saya atas sebuah tembang yang saya temukan di kitab wayang berjudul “Dewa Ruci”, tepatnya Tembang Pocung. Tembang inipun bukan dalam bahasa aslinya, tetapi merupakan terjemahan dari penggalan Tembang Pocung. Secara kandungan isi, memang tulisan ini masih berhubungan dengan tulisan saya sebelumnya, Mengenal Diri Dengan Mengenali Bayi, yaitu berkaitan dengan usaha pencapaian kesempurnaan hidup manusia. Adapun secara kronologis, penggalan Tembang Pocung yang dimaksudkan di sini sebenarnya adalah salah satu nasihat Dewa Ruci ketika Bratasena sedang manunggal dengan tubuhnya.

Dalam usaha memberi ulasan Tembang Pocung, saya membagi terjemahan syairnya menjadi tujuh bait seperti yang akan dituliskan nanti. Dari setiap bait tersebut kemudian saya akan mencoba memberikan ulasan dan pandangan. Berikut ini adalah setiap bait dari Tembang Pocung berikut ulasannya:

Wahai anak!
Hasratmu senantiasa terpengaruh oleh perasaan.
Jika selalu tenggelam di alam kewibawaan yang timbul karena keramat,
tak ada putusnyalah usaha itu.

Bila demikian,
jiwamu masih tersangkar oleh perasaan
yang tak akan melepas kenikmatan untuk seterusnya.
Pengaruh rasa perasaan yang demikian memang benar juga.
Karena ia memang hanya melaksanakan dharma baktinya
untuk mempertahankan surga kedudukannya.

Sebaliknya bagimu.
Jika memang telah puas
karena menemui kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman yang kamu dapat.
Itupun tiada salah.
Bahkan segenap umat dengan ukuran kedewasaan jiwa masing-masing,
Tujuan cita-citanya memang lazim ke arah itu.

Akan tetapi,
Bagimu yang ingin menyatakan kesempurnaan hidupmu.
Pada taraf ini memang masih terkekang oleh pengaruh segan dan gemar.
Memilih dan menolak.

Perhatikanlah!
Memilih dan menolak memang harus terlaksana.
Akan tetapi pelaksanaan itu harus seirama
dengan alam dan tujuannya.

Atas cita-citamu, ingatlah!
Kamu berasal dari ingsun.
Arah cita-citamu hendahlah menyempurnakan hidup tadi.
Tujuan mutlak harusnya hanya kehadirat tuhan.
Dengan demikian, tetap sempurnalah.

Ketahuilah!
Bagi para bijaksana
yang tekun melaksanakan dharma bakti untuk menuju kesempurnaan hidupnya.
Perkembangan budaya yang tercipta di sepanjang usaha
hanyalah menyerah pada purba wasesa Tuhan
(Dikutip dari “Tafsir Kitab Dewa Rutji”, karangan Ki Siswoharsojo)

Agar memudahkan pemahaman, sebelum mulai memberikan ulasan sebaiknya saya sebutkan terlebih dahulu sebab-musabab nasihat Dewa Ruci di atas. Pada saat Bratasena manunggal dengan wadak Dewa Ruci, ia enggan untuk keluar dari padanya. Itu karena ia telah merasakan kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman di dalam wadak Dewa Ruci. Kemudian Dewa Ruci sebagai sang guru sejati pun memberikan nasihat seperti yang tersebut dalam tembang.

[Bait Pertama] Setiap manusia memiliki nafsu yang berwatak selalu ingin mendapat tempat lebih tinggi. Oleh karena itulah manusia memiliki keinginan dan cita-cita. Termasuk di dalamnya adalah Bratasena yang bercita-cita mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup (dalam cerita Dewa Ruci dilambangkan dengan tirta pawitradi). Selain dari pada itu, manusia juga memiliki perasaan yang dalam hal ini bertugas merasai setiap tingkat pencapaian cita-cita manusia. Karena hal inilah perasaan mungkin saja memberikan nilai rasa yang tidak tepat. Tingkat cita-cita yang belum sepenuhnya tercapai ia rasai mulya, nikmat dan nyaman. Kemudian ia pun terlena dan tenggelam di alam itu. Ini seperti yang dirasakan Bratasena, ketika ia masih pada tingkatan bersatu dengan wadak bayinya (Dewa Ruci) ia enggan untuk keluar dari padanya.

[Bait Kedua] Berisi penjelasan bahwasanya jiwa yang masih tersangkar di alam perasaan (ditandai dengan terlena dan tenggelam di alam itu) itu tiada salah. Hal ini disebabkan tugas dari perasaan sendiri setelah ia dapat merasai tingkat pencapaian cita-cita ialah mempertahankan kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman yang didapatkannya. Ini adalah pertanda bahwa si manusia masih dihantui rasa takut dalam dirinya. Sejatinya kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman tidak akan selalu didapat ketika manusia masih berada di alam dunia. Itu hanya akan digapai ketika ia telah mati dan masuk surga.

[Bait Ketiga] Lebih menekankan supaya kita mengintrospeksi diri kita masing-masing. Bila kita amati alam sekitar kita, manusia lebih cenderung untuk mencita-citakan hanya sampai pada tingkatan mendapatkan kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman. Pada hakikatnya itu bukanlah cita-cita sejati manusia.

[Bait Keempat] Manusia seharusnya mencita-citakan kesempurnaan hidup. Seperti halnya Bratasena, yang mana disebutkan dalam cerita tiada yang kurang darinya: sebagai kesatria yang sakti mandraguna, juga sebagai putra raja yang kaya dan dilingkupi dengan keluarga dan lingkungan yang menyayanginya. Secara lahir Bratasena memang kaya, tetapi batinnya masih dilingkupi gelisah dan kecewa. Ilmu kesempurnaan hidup itu lebih pada upaya memperkaya batin manusia. Hanya saja untuk menuju ke arah ini manusia masih dipengaruhi rasa malas (segan) dalam dirinya, juga karena kegemarannya pada dunia yang membabi buta. Pilihan ke arah itu menyebabkan manusia menolak cita-cita sejati untuk menyempurnakan hidupnya.

[Bait Kelima] Kehidupan manusia memang memiliki konsekuensi untuk menentukan pilihan (memilih atau menolak). Manusia sendiri dibebani tugas untuk menjadi kholifah di muka bumi (alam semesta). Maka, jangan salahi itu. Seberapa pun kadar kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman yang telah dicapai manusia, jangan sampai dilupakan juga tugas untuk memberikan manfaat pada alam semesta. Itulah yang dimaksud dengan menentukan pilihan yang seirama dengan alam dan tujuannya. Bratasena memang telah mendapat kemulyaan, kenikmatan dan ketentraman ketika telah bersatu dengan wadak Dewa Ruci, tetapi supaya jangan ia lupa juga tugasnya sebagai manusia.

[Bait Keenam] Asal manusia adalah dari Tuhan, kemudian tujuan hidupnya adalah untuk kembali kepada-Nya. Manusia yang telah mencapai itulah yang telah mendapatkan kesempurnaan hidupnya, yaitu manusia yang telah bersatu dengan Tuhannya. Yang dimaksudkan dengan hidup menuju Tuhan ialah dari setiap tindak-tanduknya, manusia selalu mengarahkan untuk menggapai pada ridlo-Nya.

[Bait Ketujuh] Manusia yang sudah mendapatkan kesempurnaan hidup ketika menjalankan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi akan menjadi manusia bijaksana. Ia sadari sepenuhya tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Tuhan yang Maha Esa. Bratasena pun setelah keluar dari wadak Dewa Ruci demikian, ia menjadi sadar akan tugasnya untuk memberi manfaat pada keluarga, lingkungan dan negaranya. Dari setiap jengkal usahanya, setiap tetes keringat atau darahnya selalu ia sandarkan pada apa yang telah dipilihkan Tuhan untuknya.

Itulah pemikiran sederhana saya dalam memahami sebuah tembang dari dunia pewayangan. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya terkait catatan ini, bahwa dari wayang yang notabene termasuk budaya nusantara dapat dipetik sebuah pelajaran yang luar biasa besarnya. Di dalamnya terkandung nilai yang filosofis juga mistis. Namun di balik itu semua, ini juga menunjukkan nilai luhur kita sebagai bangsa yang berbudaya. Sebuah budaya yang patut untuk dikenal dan dilestarikan oleh bangsa dan segenap rakyatnya. Akan sangat disayangkan kalau semua itu nantinya tinggal sejarah yang hilang di telan zaman.


Pondok Aren
08 Oktober 2011
00:57

0 komentar:

Posting Komentar