Seorang guru dapat diibaratkan sebagai setetes pewarna yang dijatuhkan ke dalam suatu genangan air. Perlahan-lahan sejumlah air tersebut akan terkontaminasi oleh pewarna. Air akan berubah menjadi merah, kuning, hijau, atau mungkin hitam. Secara ilmu tampak, hampir pasti sejumlah air akan dipengarui oleh pewarna yang diteteskan ke dalamnya, walau tidak sampai mengubah sifat dasarnya. Pewarna yang hanya setetes itu, mampu menguubah air yang berkubik-kubik, walau tingkat pengaruhnya tergantung jumlah air dan konsentrasi pewarnanya.
Analogi ini bukan tanpa cela. Setidaknya tidak setiap pewarna yang diteteskan ke dalam air akan dapat mengubah sejumlah air tersebut secara keseluruhan. Air yang mengalir contohnya, amat sulit setetes pewarna mengubahnya. Pun demikian dengan air laut, air hujan sebelum tergenang di tanah, dan beberapa macam air lain yang penulis belum mengetahuinya.
Tapi tidak. Penulis tidak ingin membahas guru pada tataran filosofis. Filsafat memanglah dasar kehidupan, tetapi ia hanya tulang-belulang. Penulis di sini lebih tertarik membahas kulit luarnya yang tampak dan dekat dengan realita kehidupan. Yakni guru sebagai sosok yang sejak dini mengarahkan pendidikan bagi murid-muridnya, yang menunjukkan ilmu pengetahuan baik itu yang bersifat umum maupun agama, serta yang menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual pada generasi muda.