Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Senin, 19 Desember 2011

Surat Pertama (1)

Oleh: Saifuddin Du

Aku telah lama duduk di samping gerbang asrama siang itu. Belasan santri putri berlalu lalang melewati pintu gerbang, yang biasanya selalu menarik perhatianku, tak lagi menjadi minatku. Aku terus melihat ke arah kamar garage up: tak seorang pun nampak di sana. Rachmad baru saja menghilang di balik pintu kamar itu, ia membangunkan Qurmo yang sedang terlelap tidur di dalamnya. Aku sendiri ragu Qurmo akan bangun atau tidak, kalau sudah tidur dia kaku seperti orang mati. Perihal tingkah Qurmo yang satu ini aku menjadi teringat tokoh Kumbakarna di cerita Ramayana, seribu raksasa yang menginjak-injaknya tak dapat sedikitpun mengusik tidurnya.

Angin siang kala itu lari dengan begitu kencang, menampar-nampar pucuk pepohonan yang tinggi menjulang. Debu-debu jalanan ikut juga mengamuk, berterbangan di udara meyerbu bunga-bunga di taman Alhusna. Bunga-bunga pun menjadi kehilangan pesona, namun tetap bahgia oleh lebah yang setia mendengungkan syair-syair berirama cinta. Dan juga kupu-kupu yang dengan gagah membentangkan indah sayapnya di hadapan sang bunga. Betapa mereka membuatku iri saja, karena telah mempunyai tempat menambatkan rasa.

Minggu, 18 Desember 2011

Manusia dan Puasa

Segala kejadian di alam semesta selalu sarat makna bagi siapa saja yang bersedia merenungkannya. Barangsiapa yang mau memaknai setiap torehan dan liku dalam hidup, seremeh apapun kejadiannya dan sekecil apapun pengaruhnya, maka hal tersebut akan mengantarkannya pada tataran nilai dan hikmah. Bukankah tiada secuilpun ciptaan Tuhan di jagad semesta yang sia-sia? Dan jika demikian maka kehidupan manusia di dunia ini sejatinya adalah sebuah pencarian yang tidak akan ada sudahnya.

Salah satu kejadian alam yang patut dijadikan pelajaran di dalamnya adalah fenomena metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu. Seekor ulat yang setiap hanya bisa berjalan dengan merangkak, yang setiap harinya makan dedaunan, nilai apakah yang membuatnya mempunyai nilai dan hikmah dalam kehidupan? pada saatnya ulat akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, akan dapat terbang bebas di udara, akan dapat menikmati manisnya madu dan indahnya bunga-bunga.

Kamis, 15 Desember 2011

Manusia Dalam Sungai – Part II

Sebuah sungai dapat dipahami sebagai sebuah mata air. Ia mengalir, tetap mengalir, dan terus mengalir. Adakalanya arusnya menantang ganasnya air terjun, terjalnya pegunungan dan bukit, namun suatu ketika juga dengan damainya mengarungi sawah-sawah, lembah dan hutan belantara. Ia berjalan dari tempat ke tempat, desa ke desa, kota ke kota. Dan nantinya ia berhenti di ujung hamparan luas samudera. Sebuah sungai dapat menjadi sarana bagi siapa saja yang ingin berjalan seirama dengan alam raya, namun juga dapat menghanyutkan bagi siapa saja yang kurang hati-hati dan waspada. Sungai bisa menjadi tempat bercermin bagi manusia dan bahkan langit di angkasa.

Catatan ini sebenarnya terinspirasi dari dua hal, yaitu pengajian salah seorang budayawan, Emha Ainun Nadjib, dan buku salah seorang pujangga, Sindhunata. Dari keduanya yang saya dapatkan adalah sebuah hikmah, yang terkandung dalam salah satu fenomena alam yang dalam bahasa sehari-hari disebut “sungai”. Sungai ternyata memiliki rahasia-rahasia yang menarik dan sarat makna, baik itu dari arusnya, isi di dalamnya, atau hulu dan hilirnya, yang dapat digunakan sebagai bekal oleh manusia dalam menjalani kehidupan.

Senin, 12 Desember 2011

Bocah Penuh Luput

Oleh: Saifuddin Du

Aku mendengar suara itu sayup-sayup
Kau bisikkan di kupingku dengan lembut
Seuntai harapan keindahan hari esok
Berkisahkan bocah menapak tangga nirwana
Dalam alunan sepi berirama sajak cinta

Di balik indah bisikan itu
Kembali kau tanyakan kesungguhanku
Aku lihat lalu ragu
Seorang bocah penuh luput
Berarakkan ketekunan semakin surut
Di senja hari yang larut

Aku putuskan untuk menunggu
Bertahan di jalan yang dulu
Tempat sepintas kau berlalu
Bertelanjang kaki
Menentang gunung menjulang tinggi
Menanjak bebatuan penuh duri

Kau paksa aku mengerti
Mengenalmu adalah mimpi
Bersamamu berarti sepi
Jejak-langkahku telah pasti
Aku bertelanjang diri


Pondok Aren
12 Desember 2011
Blogspot | Kompasiana

Sabtu, 10 Desember 2011

Syeikh Siti Jenar Versus Bhiksu Tong - Part II

“Segala sesuatu berpasang-pasangan adanya, dan dalam kenyataan seringkali ia tak pernah berpisah jauh dari apa-apa yang menjadi pasangannya itu.” Ungkapan tersebut agaknya sedikit demi sedikit mulai mengakar dalam keyakinan saya. Beberapa saat sebelum saya tuliskan catatan ini, entah dari mana datangnya, saya dihadapkan pada pemikiran yang mampu mengerutkan kening saya. Pada mulanya, karena merasa berat, saya enggan untuk menuliskan pemikiran itu. Akan tetapi, tiba-tiba dalam benak saya terlintas sesuatu yang menggelitik, yang mampu meringankan beratnya pikiran saya, untuk kemudian membuat saya tertarik menuliskannya. Itulah sedikit kisah tentang proses saya menemukan “judul” yang saya gunakan dalam catatan ini.

Kata “versus” yang saya gunakan disini tidak saya artikan “melawan” seperti yang terdapat dalam kamus bahasa Inggris, tetapi “memperbandingkan”. Maksud saya adalah memperbandingkan ajaran Syeikh Siti Jenar dengan ajaran Bhiksu Tong. Semoga saja bisa diterima.

Supaya jelas, ada baiknya terlebih dahulu saya tuliskan sedikit catatan tentang Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong:

Syeikh Siti Jenar merupakan salah seorang tokoh fenomenal masa lalu di pulau jawa, khususnya dalam proses penyebaran agama islam. Tokoh ini, menurut riwayat, disebutkan dihukum mati oleh walisongo karena ajarannya yang dianggap meresahkan. Orang awam yang belum sampai tingkat tauhidnya bisa jadi tersesat oleh karena ajarannya. Ajaran tersebut sampai saat ini pun masih terkenal dan banyak diyakini dan diikuti masyarakat, yaitu ajaran tentang “manunggaling kawula gusti” atau bersatunya hamba dengan Tuhannya.

Lain halnya dengan Syeikh Siti Jenar, Bhiksu Tong (Tong Sam Cong) merupakan seorang tokoh Budha. Ia, meski hanya sebuah legenda yang belum tentu benar atau tidaknya, juga membawa ajaran yang tak kalah terkenal. Salah satu ajaran yang dibawanya (yang barangkali juga ajaran Budha) adalah: “kosong adalah berisi, berisi adalah kosong.” sebuah ajaran yang sederhana, akan tetapi memiliki makna yang begitu dalamnya.

Kedua Tokoh di atas, sama-sama merupakan tokoh spiritual meskipun berbeda keyakinan. Selain itu keduanya juga membawa ajaran masing-masing yang tersurat berbeda. Di sini saya tidak akan menilai benar dan salah, karena bukanlah kapasitas saya untuk melakukan itu. Lagi pula, dalam pandangan saya urusan benar dan salah itu sejatinya ada individu masing-masing, bukan pada orang lain siapapun di dunia ini. Dari kedua ajaran tersebut, disini saya hanya akan mencoba menggali maknanya untuk kemudian memperbandingkannya.

Seperti yang telah saya kemukakan di atas, tulisan ini bermula dari suatu gejolak dalam pikiran saya. Untuk itu, terlebih dahulu akan saya tuliskan kerangka pemikiran tersebut:

Dalam salah satu video Harun Yahya yang pernah saya lihat, disebutkan sebuah analisis ilmiah tentang panca indra manusia. Salah satunya dijelaskan bahwa ketika manusia melihat suatu benda, maka yang terjadi selanjutnya adalah bayangan dari benda tersebut akan ditangkap oleh retina mata. Kemudian retina akan menyampaikan apa yang ditangkapnya itu ke otak. Ketika telah sampai di otak, bayangan benda yang disampaikan itupun dalam keadaan terbalik dari aslinya. Setelah itu, otak akan mengolah dan menerjemahkannya, sehingga bayagan yang diterima itu akan berbentuk benda seperti yang tampak dalam penglihatan.

Dari pemahaman tersebut, terdapat suatu kejanggalan. Salah satu proses menyebutkan bahwa benda yang tampak dalam penglihatan merupakan hasil olahan dan terjemahan dari otak manusia. Otak manusia itu sangatlah terbatas adanya. Dengan demikian, berarti benda yang tampak tersebut bukan wujud yang sebenar-benarnya, karena hanya merupakan olahan dan terjemahan dari otak manusia yang terbatas. Kerangka itu pun juga berlaku sama ketika manusia mendengar, menyentuh, mencium, atau aktifitas indra yang lain, karena sama-sama melibatkan proses pengolahan dan penerjemahan otak di dalamnya.

Pemahaman tersebut sekarang akan coba dikaitkan dengan ajaran “manunggaling kawula gusti” dan “kosong adalah berisi, berisi adalah kosong.” Dari pemahaman di atas, ketika telah diakui ketiadaan semua benda yang dilihat, didengar, disentuh manusia (termasuk manusia sendiri), yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah yang sebenarnya dilihat, didengar, disentuh manusia itu? Seperti apa juga wujud aslinya? Tentu saja dalam menjawabnya harus dikaitkan dengan Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong sendiri sebagai tokoh spiritual yang meyakini ilmu ketauhidan.

Pemahaman tersebut menunjukkan ketiadaan manusia dalam keadaannya. Ketika manusia (juga seluruh alam semesta) tiada, maka yang ada tinggallah Tuhan yang Esa. Jika demikian, manusia dalam keadaannya telah melebur dalam keadaan yang satu, dalam wujud yang satu, Tuhan yang Esa. Itulah makna “manunggaling kawula gusti.” Bahwa manusia telah bersatu dengan Tuhannya.

Sementara itu ketiadaan manusia (seluruh alam semesta) dalam keadaannya juga menunjukkan kekosongan dalam diri manusia yang isi. Inilah yang dimaksudkan dengan “berisi adalah kosong.” Kemudian akan timbul pertanyaan juga, siapakah yang ada mengisi kekosongan itu? Jawabnya tentu Sang Hyang Widi atau Tuhan yang satu penguasa tempat dan waktu. Itulah makna dari “kosong adalah berisi.”

Sampai di sini saya ingin mengatakan, bahwa dengan pemahaman yang digunakan, perbandingan ajaran Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong, menghasilkan makna yang terkait dan sama. Tentang dua tokoh yang jauh berbeda - kepercayaannya, zamannya, asal-usulnya, dan masih banyak lagi, akan tetapi membawa ajaran yang mengarah pada hakikat makna yang sama. Kedua ajaran berbicara mengenai tauhid dan sama-sama menunjukkan makna keesaan sang Pencipta alam semesta.

Di sini saya hanya sekedar menyuarakan kebenaran yang ada pada diri saya, yang itu mungkin benar atau salah menurut orang lain. Saya tidak dalam rangka mempengaruhi siapapun. Kedua ajaran dan bahkan keyakinan, boleh jadi benar menurut pola pikir dan sudut pandang masing-masing pembawa dan penganutnya. Yang lebih ingin saya katakan adalah bahwa perbedaan bukanlah semata-mata sebagai sarana pembuktian benar atau salah, tetapi lebih pada pembuktian akan arti kebesaran sang Pencipta. Dan Tuhan memberikan ilmu dan rahasia-Nya kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya.


Pondok Aren
16 Juni 2011
Diperbaiki pada 05 Desember 2011
Blogspot | Kompasiana

Kamis, 08 Desember 2011

Sendiri, Sepi dan Sunyi

“Sendiri itu belum tentu sepi, bisa juga sunyi.” Kalimat tersebut beberapa kali saya ucapkan kepada beberapa orang teman. “Sunyi” dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan: tidak ada bunyi atau suara apapun; hening; senyap; kosong; atau sepi. Saya sendiri lebih senang mengartikannya (bersumber dari salah satu forum diskusi) keadaan dimana seseorang yang dalam keadaan sendiri tidak merasakan lagi kesendiriannya. Kalau merujuk pada salah satu puisi Amir Hamzah berjudul “sunyi itu duka”, “sunyi” dapat berarti pergulatan batin seorang yang berduka (sunyi itu duka), yang merasakan kesatuan dirinya dengan Tuhannya (sunyi itu kudus), yang menjadikan dirinya sendiri lupa (sunyi itu lupa) dan lampus (sunyi itu lampus). Kedua arti terakhir inilah yang akan terus saya gunakan dalam tulisan ini selanjutnya.

Dari kedua arti terakhir kata “sunyi” di atas, saya kemudian menggunakannya untuk membedakan “sunyi” dan “sepi”. Kalau “sunyi” mengarah pada perasaan hati seseorang yang berduka, “sepi” lebih pada kegelisahan hatinya akan kesepian. Dalam realitas, ”sunyi” lebih pada tindakan tenang dalam merespon keadaan dirinya yang sendiri, sedangkan “sepi” mengutamakan amarahnya dalam menanggapi kesendirian. Dan yang lebih penting ialah ketika “sepi” berimplikasi pada hilangnya keyakinan dan arah, “sunyi” lebih terkait pada kedekatan batin seseorang dengan Tuhannya.

Sunyi dan sepi mempunyai hubungan erat dengan kesendirian. Keadaan diri yang sendiri akan mengundang datangnya sepi, itulah realitas hidup yang akan dialami manusia untuk pertama kali. Manusia kebanyakan akan takut dengan kesendirian, takut kehilangan orang-orang yang mencintai dan/atau dicintai, takut kehilangan harta benda, takut kepada sepi. Ketika kaya manusia akan takut kehilangan harta bendanya, ketika berpacaran ia takut kehilangan kekasihnya, ketika punya keluarga ia takut kehilagan keluarganya. Itu semua boleh jadi merupakan kodrat hidup manusia, namun demikian bukan berarti manusia harus kalah dengan kodrat hidup tersebut. Bahkan manusia dalam kapasitasnya dituntut untuk berlatih menghadapi segala sesuatu yang menjadi kelemahannya.

Ketakutan manusia akan kesendirian memang suatu hal yang wajar. Pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan lemah (dlo’if), yang membuatnya selalu membutuhkan orang atau sesuatu selainnya. Hanya saja yang jadi persoalan, seringkali ketergantungan manusia kepada selainnya itu menjadikannya melupakan Tuhan, yang seharusnya merupakan satu-satunya tempat bergantung. Kemudian yang jadi persoalan lagi, ketergantungan manusia kepada selainnya seringkali membuatnya takut pada selainnya itu yang notabene makhluk Tuhan, bukan Tuhan sendiri. Itulah kenapa dipandang penting bagi manusia untuk melatih kesendirian. Berikut ini juga merupakan beberapa alasan yang menunjukan arti penting manusia untuk melatih kesendirian dalam menjalani hidupnya:

Kesendirian dalam banyak keadaan termasuk perkara yang dibenci manusia. Kesendirian melahirkan sepi yang boleh jadi merupakan salah satu ujian hidup baginya. Banyak manusia menjadi putus asa dalam menghadapi sepi, yang diwujudkannya dengan mabuk, narkoba, atau bahkan dengan menghabisi nyawanya sendiri. Bisa juga sepi menyebabkan manusia kehilangan harga dirinya. Karena ketakutannya akan kesepian ia rela merendahkan dirinya kepada orang lain yang tidak semestinya, ia menjual dirinya sendiri. Dalam hal ini melatih kesendirian terkait dengan upaya manusia dalam mendewasakan hidup. Yang mana kedewasaan salah satunya dapat diukur dari kesediaan seorang untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai. Kedewasaan menuntut seorang untuk bisa menerima segala keadaan, bukan hanya kesenangan tapi juga penderitaan.

Dilihat dari sudut pandang lain, kesendiriran yang telah terwujud dalam sepi, setelah direnungkan dan dirasakan dapat membuahkan kesunyian. Sunyi berawal dari keadaan sendiri dan sepi itu, yang dalam ukuran tertentu karena sepinya, ia tidak merasakan sendiri dan sepi lagi, itulah sunyi. Dengan bersunyi-sunyi manusia akan banyak melihat dan bicara pada dirinya sendiri. Ia akan mengukur, mengkaji dan mengintrospeksi dirinya. Bisa jadi ia nantinya akan menemukan Tuhannya, yang ia rasakan selalu bersamanya. Dalam hal ini, melatih kesendirian berkaitkan dengan usaha manusia dalam mencari jati dirinya, yaitu dalam usaha menemukan Tuhannya.

Kemudian, melatih kesendirian juga berkaitan dengan khusyuk. Kesendirian, seperti telah disebutkan di atas, berhubungan dengan sepi dan kemudian sunyi. Lebih jauh lagi sunyi akan bertalian dengan khusyuk. Khusyuk sendiri merupakan adab seorang muslim dalam berhubungan dengan Tuhannya, entah waktu sholat, berdzikir atau aktivitas yang lain. Jika sunyi diartikan sebagai keadaan dimana seseorang yang dalam keadaan sendiri tidak merasakan lagi kesendiriannya, maka lebih jauh lagi khusyuk berarti keadaan seseorang untuk selalu bisa mempertahankan kesunyiaannya, baik di saat sendiri ataupun bersama orang lain, baik di saat sepi maupun ramai.

Manusia, dalam dengan segala keadaannya, dipandang perlu untuk melatih kesendirian. Selain didasarkan pada beberapa pemahaman di atas, yang juga dapat dijadikan pertimbangan adalah peristiwa-peristiwa terdahulu, yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Sejenak saya perhatikan beberapa peristiwa penting di atas bumi manusia. Seorang Muhammad, waktu muda sebelum diangkat menjadi nabi, seringkali melakukan ‘uzlah (menyendiri) di dalam gua Hiro, sampai kemudian beliau menerima wahyu pertama. Kebiasaan itupun, dalam waktu-waktu tertentu juga seringkali dilakukan saat ketika beliau telah menjadi nabi. 

Kemudian, dalam keyakinan masyarakat jawa agar seseorang mendapatkan wangsit (petunjuk), ia diharuskan bersemedi terlebih dahulu. Ia akan menyendiri dari segala keramaian dan hiruk-pikuk untuk mendapatkan wangsit yang diinginkannya. Hal semacam ini juga dianut dan diyakini juga oleh pengikut Hindu, Budha dan agama-agama atau kepercayaan yang lain. Adapun melatih kesendirian disini bukanlah semata-mata dilakukan dengan menghindari orang lain, karena bagaimanapun setiap apa yang telah dihadapkan kepada manusia tidak pernah satu pun sia-sia dan selalu mengandung pelajaran dan hikmah dibaliknya – bagi yang mau berpikir. Berlatih sendiri disini lebih sebagai usaha untuk mandiri (tidak bergantung pada orang lain), menemukan dirinya sendiri, dan kemudian menemukan Tuhannya.

Itulah beberapa pemikiran tentang arti penting melatih kesendirian. Meskipun demikian, yang juga penting untuk dicatat ialah: kepentingan untuk melatih kesendirian itu, sedapat mungkin tidak melalaikan kewajiban manusia dalam bermasyarakat, dan juga sebisa mungkin dilakukan dengan tidak sampai menyakiti hati dan perasaan orang lain. Dan akhirnya, saya tutup tulisan ini dengan mengutip sebuah ungkapan dalam Pramoedya tentang kesendirian, “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun kembali pulang, seperti dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana.” -sai-


Pondok Aren
04 Desember 2011

Senin, 05 Desember 2011

Musa Mencari Keadilan - Part II

Alkisah, Musa mengembara seorang diri di belantara alam raya. Ia melewati hutan-hutan, keluar masuk kampung dan kota. Pengembaraan itu ia rasakan begitu memperkaya batinnya. Kadangkala ia harus menantang alam raya seorang diri, menaklukkan keperkasaan gunung-gunung dan keangkeran hutan belantara. Namun kadang juga ia harus berhadapan dengan berbagai tingkatan masyarakat yang menjadi kaumnya, berikut segala persoalan dan tetek-bengeknya. Pengembaraan itupun lambat laut menuai hasilnya, ia tak lagi mengembara seorang diri, tetapi bersama-sama kaum yang setia menjadi pengikutnya.

Suatu ketika di tengah pengembaraan, Musa dihinggapi kegelisahan hati. Ia menjumpai berbagai fenomena di tengah-tengah masyarakat yang menyesakkan dada. Ia melihat dengan mata kepala sekelompok kecil kemewahan di tengah-tengah hamparan kemelaratan. Ia jumpai juga pemimpin-pemimpin yang bespesta-pora, sedang di sekitarnya banyak anak-anak, janda-janda yang menangis karena lapar dan dahaga. Hati dan pikirnya diliputi berbagai pertanyaan yang tidak ia dapatkan jawabnya.

Jumat, 02 Desember 2011

Sudahkah Kaukenal Namamu?

Setelah mendengar sabda raja semua penghuni singgasana menjadi menjadi gelisah tak karuan. Semua takut kekacauan akan segera menimpa dunia dan seisinya. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan, pengalaman lah yang membuat mereka berbuat demikian. Jauh sebelum saat itu telah terjadi hal yang mengerikan mereka, ciptaan saat itu merusak segala-gala dan saling bunuh-membunuh. Mereka pun sangat berduka melihat kejadiannya. Dan pada akhirnya sang raja mengutus mereka untuk mengirimkan serangan api dari langit, sehingga luluk-lantaklah semua ciptaan terdahulu itu.

Sekarang kejadian itu akan terulang kembali, sehingga gundah gulana hati mereka. Beramai-ramai mereka menuju balairung istana untuk menghadap sang raja. Mereka ingin menyampaikan persoalannya. Semua dari mereka tidak menyetujui pembuatan ciptaan baru, yang menurut pikir mereka nantinya akan merusak dunia seisinya. Sementara sang raja tetaplah raja-diraja, tentu saja sebenarnya ia telah mengetahui persoalan hambanya berikut solusinya, bahkan ia telah mengagendakan keluh-kesah itu dalam daftar kegiatannya. Dengan tenang dan tersenyum sang raja pun memulai sabdanya: