“Segala sesuatu berpasang-pasangan adanya, dan dalam kenyataan seringkali ia tak pernah berpisah jauh dari apa-apa yang menjadi pasangannya itu.” Ungkapan tersebut agaknya sedikit demi sedikit mulai mengakar dalam keyakinan saya. Beberapa saat sebelum saya tuliskan catatan ini, entah dari mana datangnya, saya dihadapkan pada pemikiran yang mampu mengerutkan kening saya. Pada mulanya, karena merasa berat, saya enggan untuk menuliskan pemikiran itu. Akan tetapi, tiba-tiba dalam benak saya terlintas sesuatu yang menggelitik, yang mampu meringankan beratnya pikiran saya, untuk kemudian membuat saya tertarik menuliskannya. Itulah sedikit kisah tentang proses saya menemukan “judul” yang saya gunakan dalam catatan ini.
Kata “versus” yang saya gunakan disini tidak saya artikan “melawan” seperti yang terdapat dalam kamus bahasa Inggris, tetapi “memperbandingkan”. Maksud saya adalah memperbandingkan ajaran Syeikh Siti Jenar dengan ajaran Bhiksu Tong. Semoga saja bisa diterima.
Supaya jelas, ada baiknya terlebih dahulu saya tuliskan sedikit catatan tentang Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong:
Syeikh Siti Jenar merupakan salah seorang tokoh fenomenal masa lalu di pulau jawa, khususnya dalam proses penyebaran agama islam. Tokoh ini, menurut riwayat, disebutkan dihukum mati oleh walisongo karena ajarannya yang dianggap meresahkan. Orang awam yang belum sampai tingkat tauhidnya bisa jadi tersesat oleh karena ajarannya. Ajaran tersebut sampai saat ini pun masih terkenal dan banyak diyakini dan diikuti masyarakat, yaitu ajaran tentang “manunggaling kawula gusti” atau bersatunya hamba dengan Tuhannya.
Lain halnya dengan Syeikh Siti Jenar, Bhiksu Tong (Tong Sam Cong) merupakan seorang tokoh Budha. Ia, meski hanya sebuah legenda yang belum tentu benar atau tidaknya, juga membawa ajaran yang tak kalah terkenal. Salah satu ajaran yang dibawanya (yang barangkali juga ajaran Budha) adalah: “kosong adalah berisi, berisi adalah kosong.” sebuah ajaran yang sederhana, akan tetapi memiliki makna yang begitu dalamnya.
Kedua Tokoh di atas, sama-sama merupakan tokoh spiritual meskipun berbeda keyakinan. Selain itu keduanya juga membawa ajaran masing-masing yang tersurat berbeda. Di sini saya tidak akan menilai benar dan salah, karena bukanlah kapasitas saya untuk melakukan itu. Lagi pula, dalam pandangan saya urusan benar dan salah itu sejatinya ada individu masing-masing, bukan pada orang lain siapapun di dunia ini. Dari kedua ajaran tersebut, disini saya hanya akan mencoba menggali maknanya untuk kemudian memperbandingkannya.
Seperti yang telah saya kemukakan di atas, tulisan ini bermula dari suatu gejolak dalam pikiran saya. Untuk itu, terlebih dahulu akan saya tuliskan kerangka pemikiran tersebut:
Dalam salah satu video Harun Yahya yang pernah saya lihat, disebutkan sebuah analisis ilmiah tentang panca indra manusia. Salah satunya dijelaskan bahwa ketika manusia melihat suatu benda, maka yang terjadi selanjutnya adalah bayangan dari benda tersebut akan ditangkap oleh retina mata. Kemudian retina akan menyampaikan apa yang ditangkapnya itu ke otak. Ketika telah sampai di otak, bayangan benda yang disampaikan itupun dalam keadaan terbalik dari aslinya. Setelah itu, otak akan mengolah dan menerjemahkannya, sehingga bayagan yang diterima itu akan berbentuk benda seperti yang tampak dalam penglihatan.
Dari pemahaman tersebut, terdapat suatu kejanggalan. Salah satu proses menyebutkan bahwa benda yang tampak dalam penglihatan merupakan hasil olahan dan terjemahan dari otak manusia. Otak manusia itu sangatlah terbatas adanya. Dengan demikian, berarti benda yang tampak tersebut bukan wujud yang sebenar-benarnya, karena hanya merupakan olahan dan terjemahan dari otak manusia yang terbatas. Kerangka itu pun juga berlaku sama ketika manusia mendengar, menyentuh, mencium, atau aktifitas indra yang lain, karena sama-sama melibatkan proses pengolahan dan penerjemahan otak di dalamnya.
Pemahaman tersebut sekarang akan coba dikaitkan dengan ajaran “manunggaling kawula gusti” dan “kosong adalah berisi, berisi adalah kosong.” Dari pemahaman di atas, ketika telah diakui ketiadaan semua benda yang dilihat, didengar, disentuh manusia (termasuk manusia sendiri), yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah yang sebenarnya dilihat, didengar, disentuh manusia itu? Seperti apa juga wujud aslinya? Tentu saja dalam menjawabnya harus dikaitkan dengan Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong sendiri sebagai tokoh spiritual yang meyakini ilmu ketauhidan.
Pemahaman tersebut menunjukkan ketiadaan manusia dalam keadaannya. Ketika manusia (juga seluruh alam semesta) tiada, maka yang ada tinggallah Tuhan yang Esa. Jika demikian, manusia dalam keadaannya telah melebur dalam keadaan yang satu, dalam wujud yang satu, Tuhan yang Esa. Itulah makna “manunggaling kawula gusti.” Bahwa manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Sementara itu ketiadaan manusia (seluruh alam semesta) dalam keadaannya juga menunjukkan kekosongan dalam diri manusia yang isi. Inilah yang dimaksudkan dengan “berisi adalah kosong.” Kemudian akan timbul pertanyaan juga, siapakah yang ada mengisi kekosongan itu? Jawabnya tentu Sang Hyang Widi atau Tuhan yang satu penguasa tempat dan waktu. Itulah makna dari “kosong adalah berisi.”
Sampai di sini saya ingin mengatakan, bahwa dengan pemahaman yang digunakan, perbandingan ajaran Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong, menghasilkan makna yang terkait dan sama. Tentang dua tokoh yang jauh berbeda - kepercayaannya, zamannya, asal-usulnya, dan masih banyak lagi, akan tetapi membawa ajaran yang mengarah pada hakikat makna yang sama. Kedua ajaran berbicara mengenai tauhid dan sama-sama menunjukkan makna keesaan sang Pencipta alam semesta.
Di sini saya hanya sekedar menyuarakan kebenaran yang ada pada diri saya, yang itu mungkin benar atau salah menurut orang lain. Saya tidak dalam rangka mempengaruhi siapapun. Kedua ajaran dan bahkan keyakinan, boleh jadi benar menurut pola pikir dan sudut pandang masing-masing pembawa dan penganutnya. Yang lebih ingin saya katakan adalah bahwa perbedaan bukanlah semata-mata sebagai sarana pembuktian benar atau salah, tetapi lebih pada pembuktian akan arti kebesaran sang Pencipta. Dan Tuhan memberikan ilmu dan rahasia-Nya kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya.
Pondok Aren
16 Juni 2011
Diperbaiki pada 05 Desember 2011
Blogspot |
Kompasiana