Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Minggu, 31 Juli 2011

Tafakkur

Tafakkur adalah memikirkan dan merenungkan makna, hakikat dan hikmat dibalik sesuatu untuk menemukan keagungan Tuhan dan kekuasaan-Nya daam rangka memurnikan keesaan-Nya. Dengan pemikirannya itu akan menambah keimanan manusia kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Tuhan penguasa alam semesta, memperkuat keislaman dan keihsanan. Tafakkur (berpikir) penting dilakukan babi setiap manusia yang menginginkan ma’rifat (pengetahuan tentang hakikat Tuhan), sebab tatkala jiwa belajar dan mengolah ilmu lalu kemudian memikirkan dan menganalisisnya akan dapat membuka pintu-pintu keghaiban.

Tafakkur berdasarkan obyek dan sarananya dibagi menjadi enam macam yaitu:

1)  Tafakkur atas kuasa Tuhan
Yaitu memikirkan dan merenungi ke-Maha Kuasa-an Tuhan yang telah menciptakan keindahan yang dapat kita saksikan, dan kuasa Tuhan yang telah menjadikan alam semesta (tujuh langit dan tujuh bumi beserta dengan isinya).

2)  Tafakkur atas nikmat dan karunia Tuhan
Yaitu berpikir tentang apa yang diberikan kepada kita oleh Tuhan yang berupa nikmat dan karunia yang tidak terhitung jumlahnya (karena saking banyaknya)

3)  Tafakkur atas pengetahuan Tuhan
Yaitu bertafakkur atas sifat Tuhan yang Maha Mengetahui. Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui akan segala yang lahir maupun yang batin. Bahwa semua yang dikerjakan oleh hamba-Nya, baik yang dilakukan secara fisik maupun yang dilakukan oleh anggota batin (nafs, qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa) diketahui oleh Tuhan.

4)  Tafakkur atas nasib di akhirat
Yaitu dengan memikirkan tentang ibadah kita di dunia ini dan bagaimana nasib kita kelak di akhirat yang kekal abadi.

5)  Tafakkur atas sifat kehidupan duniawi
Yaitu berpikir dan merenungkan karakteristik kehidupan duniawi yang sangat fana’ (temporal) dan senantiasa mengajak manusia kepada maksiat dan melupakan Tuhan.

6)  Tafakkur atas datangnya kematian yang pasti dan keadaan seseorang yang telah mati

Dari keenam bentuk tafakkur tersebut, dapat diidentifikasikan model-model orang yang bertafakkur yaitu: tafakkur yang pertama adalah tafakkurnya para ulama; model tafakkur kedua adalah meteri syukur; sedangkan model yang ketiga sampai yang keenam tafakkur dalam rangka memurnikan amal dan peribadatan, ini merupakan tafakkurnya para hamba Tuhan yang tulus (‘abiddin).

Dasar bertafakkur antar lain disebutkan dalam Al-Qur’an dan yang artinya: “Orang-orang yang berdzikir (mengingat) Allah sambil berdiri dan duduk serta dalam keadaan berbaring, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka selamatkanlah kami dari siksa api neraka” (QS Ali Imran: 191). Kemudian Hadits nabi antara lain: "Memandang pada mushaf, berpikir tentangnya dan mengambil ibarat (pelajaran) pada keajaiban-keajaibannya" (HR Ibnu Abid Dunya); dan “Berpikir sesaat lebih baik dari pada beribadah setahun” (HR Ibnu Hibban).

Secara definitif tafakkur juga diformulasikan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Ihya’ Ulumuddin" mengungkapkan keutamaan berpikir dengan menceritakan kisah Muhammad bin Wasi’ bahwa orang laki-laki dari penduduk Bashrah naik kendaraan ke tempat Ummi Dzar setelah kematian Abi Dzar, lalu bertanya kepadanya tentang ibadah Abi Dzar, maka Ummi Dzar menjawab: siangnya semua adalah di sudut rumah dan berdzikir. Kemudian dari Hasan, ia berkata: Berpikir itu lebih baik dari mengerjaan shalat malam. Juga dari Fudhail, ia berkata bahwa berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.

Sebagai penutup, ada sebuah syair arab yang berbunyi: idzaa a-lmar’u kaanat lahuu fikroh, fa fii kulli syai’in lahuu ‘ibroh. Artinya: apabila sesseorang mempunyai pikiran, maka pada setiap sesuatu ia dapat mengambil pelajaran.

Sumber:
Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandyiah, Sebuah Tinjauan Ilmiyah dan Amaliyah
Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, M.Si

Minggu, 24 Juli 2011

Buka Puasa di Alhusna

Menyambut ramadhan tahun ini aku jadi teringat kenangan ramadhan tahun-tahun sebelumnya: ketika di rumah, pesantren, Surabaya atau tempat-tempat lainnya. Saat itu belum terpikrkan olehku untuk mencatatnya, apalagi menuliskannya dalam bentuk cerita seperti ini. Salah seorang temankulah yang baru-baru ini menginspirasiku untuk menulis.

Bagiku ramadhan memang selalu layak untuk ditunggu. Selain keutamaan-keutamaannya, akan selalu ada hal istimewa yang dilakukan hanya di bulan suci tersebut. Sebut saja puasa sebulan penuh, sholat tarawih, tadarrus Al-Qur’an dan masih banyak lagi. Beberapa diantaranya bahkan bisa jadi merupakan hal baru dan satu-satunya, takkan terulang dan selalu menarik untuk dikenang.

*

Ramadhan empat tahun yang lalu aku masih terdaftar sebagai santri salah satu pesantren di Jawa Timur, tepatnya Ponpes Darul Ulum Jombang. Di tempat itulah untuk pertama kali aku meniggalkan rumah dan keluarga untuk kemudian hidup dengan teman-teman dari seluruh penjuru nusantara. Banyak yang telah aku peroleh dari sana: ilmu, teman, pengalaman dan juga kenangan.

Ponpes Darul Ulum sangatlah luas, di dalamnya berdiri sekolah-sekolah mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah sampai Perguruan Tinggi. Selain sekolah-sekolah pesantren tersebut juga terdiri dari asrama-asrama sebagai tempat mengaji dan istirahat santri. Setiap asrama memiliki pengasuh dan kegiatan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain. Aku sendiri selama tiga tahun bertempat di asrama putra-putri Alhusna.

Setiap sore di bulan Ramadhan telah menjadi aktivitas wajib para santri untuk mengaji kitab di musholla. Semua santri, baik putra maupun putri, setelah shalat asar diharuskan berkumpul di musholla santri putra untuk mendengarkan tausiyah kiai atau ustadz. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, sebaiknya aku sebutkan disini bahwasanya saat ngaji tersebut antara santri putra dan putri dipisahkan oleh satir pembatas. Aku masih ingat materi ngaji Ramadhan yang disampaikan di tahun ketigaku itu adalah tafsir jalalain.

“Allah itu Maha Esa, tiada yang lain selain dari pada-Nya. Ketika disebutkan suatu apapun atau dalam bahasa apapun jika itu menunjukkan keesaan Tuhan, maka itu adalah Allah. Bahkan ketika disebutkan Sang Yang Widi ataupun Yesus, kalau itu menunjukkan sesuatu yang Maha Esa, harus ditanamkan dalam keyakinan kita bahwa itu Allah. Tiada lagi yang Maha Esa selain daripada-Nya.” Kurang lebih itu salah satu isi tausiyah yang masih aku ingat dari ngaji Ramadhan saat itu.

Usai mengaji, kira-kira jam lima, mulailah tampak hiruk-pikuk santri mempersiapkan saat berbuka. Santri putri yang baru keluar dari musholla langsung saja menyerbu seorang bapak (santri-santri biasa memanggilnya pakde Titot) di samping jalan masuk asrama. Sementara itu, santri putra bermacam-macam tingkahnya: ada yang mengaji Al-Qur’an, menyapu halaman, kembali ke kamar masing-masing, atau duduk-duduk di depan musholla memandangi santri putri berlalu-lalang di sekitar dagangan pakde Titot. Aku sendiri biasa melakukan hal yang terakhir, hehe.

*

Sore itu, setelah mengaji, seperti kebanyakan hari-hari yang lain aku duduk di depan musholla. Saat itu memang sudah lebih sore, tampak awan di cakrawala sudah mulai bewarna kuning keemasan. Masih bisa kuingat saat-saat seperti itu biasanya semilir angin berdesir pelan menggerakkan daun-daun pepohonan. Bulu-bulu sekujur tubuh pun seakan menari-nari mengikuti desiran. Sementara di halaman samping musholla debu-debu berlarian saling berkejaran. Terasalah olehku ketenangan kalbu didalamnya. Rasa lapar dan dahaga pun kian menambah ketentraman jiwa. Subhanallah, Engkau sedang menunjukkan kepadaku kenikmatan berpuasa.

“Din,” suara panggilan itu membuyarkan lamunanku.

Aku menengok ke arah sumber suara. Iwan, teman sekamarku, kelihatan di tangga kamar lantai dua depan musholla, tempat kamarku berada.

“Ayo beli es, Din!” ajak Iwan.

“Kemana Wan?” sahutku.

“Seperti biasa, warung cak Edi.” Jawab Iwan sambil menuruni tangga bersama Arfad, teman sekamarku juga.

“Ayo,” jawabku sambil memandang ke arah kedua temanku itu. “Kamu yang beli krupuk ya Fad!”

“Iya, ini memang mau beli.” Jawab Arfad.

Aku pun pergi bersama Iwan, sementara Arfad melangkahkan kakinya ke arah penjual kerupuk tidak jauh dari musholla.

Untuk memperjelas cerita, barangkali ada baiknya kuperkenalkan dulu teman-teman sekamarku. Ada lima santri penghuni kamar lima asrama putra Alhusna: Iwan, Arfad, Daus, Mbah, dan aku sendiri. Saat-saat sebelum bedug maghrib tiba, meski tidak pernah dijadwalkan kami biasanya saling berbagi tugas untuk menyiapkan buka puasa. Saat itu, sementara aku, Iwan dan Arfad pergi, Daus sedang membersihkan kamar dan Mbah bertugas di dapur asrama meyiapkan dan mengambil nasi. Hampir setiap hari di bulan Ramadhan, sebelum pulang ke kampung halaman masing-masing kami selalu berbuka bersama.

Kurang lebih telah seperempat jam adzan maghrib berkumandang, Mbah tidak juga kunjung datang. Aku, Iwan, Arfad dan Daus telah berkumpul di kamar saat itu. Sambil menunggu mbah, es teh dan rokoklah yang menjadi santapan pertama, diselingi guyonan-guyonan juga tentunya. Mbah biasanya memang tidak sampai selama itu. Semakin lama menunggu, perut semakin keroncongan dan hisapan rokok kian semakin dalam.

“Kreeek,” terdengar suara pintu kamar terbuka, mbah nampak di depannya. Ia segera masuk sementara kami berempat memandanginya.

“Maaf kawan, ini nasinya.” Kata Mbah dan kemudian duduk di depan kami.

Kami pun tidak lagi melihat senampan nasi yang waktu itu berlaukkan ayam dan sayur lodeh. Terus saja kupandangi Mbah, ia kelihatan beda. Nafasnya agak tersengal-sengal, wajahnya lumayan pucat dan kerutan di keningnya nampak lebih jelas dari biasanya menandakan ia sedang memikirkan sesuatu.

“Ada apa Mbah?” Daus mulai bertanya.

“Kurang ajar memang!” Kata mbah menanggapi pertanyaan Daus.

“Iya, kenapa?” Daus melanjutkan.

“Masalah, Us.” Jawabnya singkat sambil menatap tajam ke arah Daus. Ia memegangi sebatang rokok tapi ragu akan menyulutnya.

“Masalah apa Mbah? Sebaiknya diceritakan dulu.” Pinta Iwan.

Mbah kelihatan berpikir sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke arah Iwan, Arfad kemudian aku. Juga nasi di nampan yang sama sekali belum tersentuh tangan salah satu dari kami.

“Sudahlah, ayo kita berbuka dulu! Sebaiknya aku batalkan puasaku dengan nasi saja.” Sahut Mbah kemudian sambil menghembuskan nafas panjang.

Kami saling berpandangan. Dengan ganjalan rasa penasaran kemudian kami memulai makan. Keadaan menjadi sepi, tiada suara di antara kami. Berbuka puasa pun terasa kurang nikmatnya. Kamar menjadi sunyi senyap. Hanya suara gurauan anak kamar sebelah terdengar waktu itu, barangkali juga kumandang puji-pujian yang dilantunkan di musholla dan masjid-masjid.

Tidak lama setelah itu terdengar juga suara iqomah dari musholla asrama menandakan Pak Kyai telah rawuh untuk memulai shalat jamaah. Nasi waktu itu belum sampai habis, juga es teh dan kerupuknya. Kami berlima akhirnya bergegas meninggalkan kamar menuju musholla, meninggalkan untuk sementara semua yang ada di dalamnya. Kecuali yang ada dalam hati dan pikiran kami tentunya.

Ditulis di:
Gedung C STAN

Minggu, 17 Juli 2011

Rela Menunggu

Pernahkah terpikirkan dalam benak anda, dalam sudut pandang tertentu pekerjaan yang utama bagi manusia adalah menunggu? Oleh saya sendiri hal ini baru terpikirkan saat akan menuliskan topik tulisan ini. Manusia ketika hendak atau ingin melakukan apapun, baik secara langsung ataupun tidak, lama atau cuma sebentar, disadari atau tidak, dilakukannya dengan menunggu terlebih dahulu. Sebut saja ketika manusia ingin tidur ia menunggu saat ngantuk, ketika akan makan ia menunggu saat lapar, ketika bertanya atau berdoa ia akan menunggu jawabannya, dan masih banyak lagi. Secara lebih luas manusia juga pasti akan menunggu saat izroil datang membawa ruhnya pergi entah kemana. 

Orang bilang menunggu itu membosankan, boleh jadi pernyataan tersebut memang benar. Akan tetapi bosan itu merupakan salah satu bentuk ungkapan perasaan, itu menunjukkan pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar (tidak bernilai benar mutlak). Manusia dengan kriteria tertentu bisa jadi berbeda. Karena sebagian besar orang menganggap menunggu itu membosankan, tentunya banyak orang ingin menghindari pekerjaan tersebut. Manusia lebih suka dengan yang serba tepat waktu, sebagian bahkan menghendaki yang lebih cepat. Sebuah ungkapan “lebih cepat lebih baik” sampai-sampai menjadi jargon dalam kampanye pilpres. 

Tidak dapat disalahkan tentunya orang menghendaki atau mungkin juga menuntut sesuatu yang lebih cepat, hanya saja tidak dapat ditentukan juga kalau dikatakan yang cepat selalu lebih baik. Logika sederhana barangkali bisa menggambarkan pernyataan ini. Ketika seseorang mengendari motor, dia mempunyai pilihan melajukan motornya dengan kecepatan tertentu: cepat, sedang atau lambat. Misalkan orang tersebut berkendara di jalan bergelombang, ia akan lebih aman jika memilih melaju dengan kecepatan sedang atau lambat. Hal ini berarti baik atau tidaknya kecepatan dipengaruhi oleh lingkungan. Lain lagi persoalannya ketika orang tersebut berkendara di jalan mulus tetapi telah ditentukan batas kecepatan maksimalnya, ia tidak diperbolehkan melajukan kendaraannya di atas kecepatan maksimal yang ditentukan. Ini menunjukkan baik atau tidaknya kecepatan dipengaruhi juga oleh aturan. Tentunya akan sangat banyak gambaran yang lain. Ukuran baik atau buruk itu tidak ditentukan oleh cepat atau lambatnya sesuatu, akan tetapi sesuatu itu adalah yang terbaik jika tepat ruang dan waktunya.

Dari gambaran-gambaran di atas, saya akan mencoba menuliskan pemikiran tentang bagaimana mengalahkan kebosanan menunggu. Solusi itu seringkali dekat dengan masalahnya, sedangkan yang dekat dengan suatu permasalahan adalah sebab-akibatnya dan juga masing-masing individunya. Sesuatu yang membosankan akan menumbuhkan sifat mudah mengeluh. Mengeluh sendiri menunjukkan sikap kurang mensyukuri apa-apa yang telah diberikan. Berawal dari pikiran tersebut yang kemudian bisa tumbuh menjadi keyakinan, ditambah juga kesadaran bahwa yang lebih cepat tidak selalu lebih baik, suatu saat akan dapat menumbuhkan kerelaan menunggu.

Ada dua macam perbuatan yang akan dilakukan manusia terkait dengan kegiatan menunggu. Manusia bisa jadi bertahan atau ia akan melampiaskan. Ketika memilih bertahan ia akan tetap dengan penantiannya, sedangkan ketika memilih melampiaskan ia akan beralih kepada kegiatan lain atau dengan menghalalkan segala cara. Manusia dapat saja beralih kepada kegiatan lain sekehendaknya, akan tetapi yang juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu: sesuatu yang sifatnya bertahan akan lebih dekat dengan kesabaran dan kesabaran akan lebih dekat dengan Tuhan.

Lebih jauh lagi diilhami dari kesadaran akan kebesaran kekuasaan Tuhan atas diri manusia juga keyakinan bahwa apa yang diberikan Tuhan kepadanya adalah yang  terbaik untuknya, kerelaan menunggu manusia akan meningkat dengan sendirinya. Bukan hanya terbatas pada menunggu nasibnya, manusia bisa jadi juga akan menunggu setiap kali akan mulai melakukan suatu pekerjaan tertentu. Hal ini akan memiliki suatu proses, dan tidak dapat dibenarkan jika dilakukan dengan serta merta. Manusia mempunyai pikiran, itu merupakan batas kekuasaannya. Dengan pikirannya ia akan menimbang-nimbang setiap akan melakukan sesuatu, inilah proses menunggu sebelum akhirnya Tuhan menggerakkan hatinya supaya melakukan sesuatu.

Kemudian apa yang menjadi beda antara ketika manusia melakukan sesuatu atas dasar menjemputnya dengan atas dasar menunggunya? Jika diamati ketika menunggu manusia akan melalui proses dimana ia menyadari Tuhan menggerakkan hatinya, maka yang ada pada setiap tindakan yang dilakukannya adalah bukan karena keterpaksaan. Dengan kata lain ia akan melakukan sesuatu didasari keikhlasan. Selain pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan Tuhan, hal inilah yang saya rasa tidak tampak jelas pada manusia ketika melakukan sesuatu atas dasar menjemputnya.

Sekarang bagaimana jika dalam proses menunggu Tuhan tidak menggerakkan hatinya, tidakkah manusia hanya akan diam? Jika memang itu yang menjadi pertanyaan, akan dapat dijawab dengan pertanyaan juga: bukankah sebagai makhluk berpikir manusia akan selalu mempunyai tujuan atas setiap yang tindakan dilakukannya? Pikiran itulah yang akan menuntut setiap perbuatan manusia akan dilakukannya atau tidak tindakan itu. Sedangkan bedanya dari proses tadi yaitu: disertai atau tidaknya setiap perbuatan dengan kesadaran dan keyakinan akan ketuhanan. Wallahu a’lam

Ditulis di:
Sarmili

Senin, 11 Juli 2011

Tas Topan

Kurang lebih setahun yang lalu seorang teman dari Jombang Jawa Timur berkunjung ke tempatku di Jakarta. Topan. Aku biasa memanggilnya dengan nama itu. Sekaligus nama itu juga akan kugunakan sebagai nama samarannya dalam ceritaku ini. Topan ngeluyur ke Jakarta memang dengan suatu tujuan. Bukan saja untuk berlibur di tempat yang memang belum pernah ia kunjungi, ia juga bermaksud mengunjungi salah satu pesantren di daerah Tangerang. Sebelumnya ia telah menyampaikan kepadaku keinginannya untuk nyantri  di pesantren asuhan ustadz Yusuf Mansur itu.

Dengan modal restu ibu dan tentu saja uang saku Topan pergi ke kota yang oleh banyak orang disebut kota metropolitan itu. Sesuai arahanku dia naik kereta ekonomi dari Jombang. Setelah sampai di stasiun Pasar Senen, sesuai arahanku juga dia naik bis nomor 76 dan turun di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai teman yang baik (mungkin juga cuma pura-pura baik, hehe) aku menjemputnya di tempat itu. Syukurlah, ketemu juga. Aku pikir dia bakalan kesasar turun dari bis di tempat yang bukan pemberentian akhir. Hal itu sering terjadi bagi orang yang belum biasa mengunjungi Jakarta.

Dengan kaos yang telah kusut dan senyum yang tidak manis Topan menemuiku. Wajar saja, hampir sehari semalam dia dalam perjalanan. Apalagi di kereta yang biasanya penuh sesak dengan manusia itu. Selelah bertemu, dia mentraktirku makan bakso, sholat jum’at dan sempat juga ngelihatin cewek-cewek UIN. Di kampus itu aku akui memang banyak sekali ceweknya, cantik-cantik juga, hehe. Berbeda dengan kampusku yang pas jika dikatakan kebalikannya. Kemudian aku ajak dia ke kosku di daerah dekat Bintaro. Ah, barangkali akan jadi satu novel kalau kuteruskan ceritaku dengan Topan saat di Jakarta yang cuma beberapa hari itu, berikut detailnya dan juga nilai-nilainya. Bukan itu, aku tidak ingin menuliskan cerita panjang. Barangkali hanya bagian yang menurutku menarik.

*

Beberapa hari di Jakarta aku sudah menemani Topan mengunjungi beberapa tempat. Termasuk di antaranya universitas yang dikelola ustadz Yusuf. Sayang sekali saat itu ustadz Yusuf tidak ada di tempat. Untuk melengkapi kunjungannya ia ajak juga aku ke jantung kota Jakarta, tepatnya monas dan masjid Istiqlal. Karena capek, aku menolak dan menjanjikan pergi besoknya.

Siang itu, hari selasa kira-kira jam sebelas siang, aku dan Topan telah sampai di monas meski sempat kesasar juga. Saat itu memang juga kunjungan pertamaku di tempat kebanggaan ibu kota itu, meski telah hampir setahun di Jakarta. Hehe, katrok memang. Tapi gak apalah, toh akhirnya sudah kukunjungi juga. Sebelum sampai di monas Topan memintaku mengambilkan uangnya lewat ATM yang kemudian disimpannya dalam tas. Esok hari dia berencana langsung balik ke Jombang. Mengenai tas Topan ini akan ada kelanjutan ceritanya nanti.

Rumput-rumput di taman monas menari-nari menyambut aku dan Topan datang. Pohon-pohon bergoyang lebih dahsyat lagi seakan tidak mau kalah. Selain panas angin juga bertiup cukup kencang waktu itu. Puncak monas yang konon berlapis emas melambaikan kilauannya, seakan mengundang manusia untuk meraihnya. Seharian Topan dan aku menghabiskan waktu di tempat itu yang kemudian dilanjutkan sholat maghib dan isya di masjid Istiqlal.

Kira-kira jam sembilan malam aku dan Topan baru bisa keluar dari masjid setelah tas kami terkunci dalam ruangan yang ditinggal tidur penjaganya. Kami memutuskan untuk kembali ke monas untuk menghabiskan malam. Dalam perjalanan sempat kujumpai orang-orang yang tergolek rapi di trotoar-trotoar jalan untuk melepas lelah: lelaki-wanita, tua-muda, bahkan ada juga yang masih bayi. Itu adalah saat pertama aku melihat kehidupan malam mereka yang nasibnya terpinggirkan di kota terbesar di Indonesia. 

Sampai di monas, masih tampak tempat itu ramai dengan orang berlalu-lalang: mereka yang pacaran, main bola, ngopi dan banyak lagi. Aku dan Topan mengambil tempat di taman. Dengan berbatang-batang rokok dan goyonan-guyonan kulalui waktu malam itu.

“Hari yang melelahkan”, pikirku. 

Kulihat Topan yang sudah nampak tertidur mendahului. Beralaskan rumput yang siang tadi tampak menari-nari. Beratapkan cakrawala gelap berhiaskan bintang di langit tinggi. Dan tak kulupa juga berbantalkan tasnya sendiri. Saat itu mulai aku merasa sepi, sebentar dalam sunyi kemudian tenggelam juga ke dalam mimpi.

Kurang lebih satu jam aku tertidur saat itu. Seperti ada yang membangunkan kubuka mataku pelan-pelan. Kulihat ke arah Topan, ia nampak tertidur pulas. Kemudian kuarahkan mataku ke atas. Aku sangat terkejut melihat ada orang di atasku, di atas aku dan Topan tidur. Dia terbaring dengan kepala tepat di atas Topan. Aku ingat tangannya yang waktu itu meraih tas Topan tapi tidak atau belum menguaisainya. Dia pun terkejut melihat aku terbangun. Sambil membangunkan Topan kutanyai dia.

“Ada perlu apa Bang?”

“Gini mas”, dia memulai dan Topan sudah terbangun, “tadi ada tiga orang kesini bermaksud mengganggu Mas, kemudian saya kesini bermaksud menolong supaya mas tidak diganggu.”

“Kemana orangnya?” tanyaku lagi.

“Mereka sudah pergi setelah kubilang Mas temanku dan kularang mengganggu,” jawabnya singkat.

Kemudian setelah minta diri dia pergi entah kemana. Aku sendiri walau menaruh curiga, tidak mau memperpanjang masalah itu. Aku sadar telah tidur di tempat yang salah. Barangkali itu juga karena tidurku itu sendiri. Tidur yang menyebabkan, mungkin, hampir saja tas Topan menghilang tanpa tahu arahnya, barang-barangnya dan juga uangnya. Topan yang terlihat masih mengantuk kuajak pindah tempat. Kira-kira saat itu jam setengah satu malam dan monas terlihat lebih sepi dibanding saat sebelum tidur tadi.

Aku dan Topan mendapatkan stasiun Gambir. Tidak aku dapatkan tidur lagi waktu itu, juga Topan. Kami menghabiskan malam dengan makan nasi goreng, nonton sepak bola bareng tukang becak dan supir-supir angkot, ngopi dan tak lupa menghisap rokok. Karena capek Topan akhirnya memutuskan tidak jadi langsung pulang. Kira-kira jam setengah empat kami dapatkan bis yang membawa kami balik ke kos.

Di dalam bis masih sempat kuingat-ingat kejadian malam itu: seorang asing (barangkali juga maling), tas, uang, perjalanan pulang. Setelah beberapa hari kucoba tafsiri sendiri, kukait-kaitkan dengan kehidupan. Gara-gara tidur dan kurang pandai menempatkan diri, (jika memang benar orang itu maling) Topan hampir saja kehilangan apa yang menjadi bekalnya. Kalau saja bekal itu adalah bekal hidup, umur misalnya, bisa jadi hal itu mengakibatkan Topan terlambat sampai pada tujuan hidupnya, atau mungin bahkan tidak sama sekali. Dan tujuan manusia hidup di dunia tidak lain adalah untuk sampai kepada-Nya.

Sudahlah, paling sudah kudapatkan satu kesimpulan:  kurangi tidur dan pandai-pandai menempatkan diri, hehe. 

Ditulis di:
Kalimongso

Minggu, 03 Juli 2011

Memandang Perbedaan

Pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Jeroan Manusia”, telah disinggung mengenai manusia yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan yang disebutkan antara lain perbedaan sifat dan tingkah polahnya. Selain perbedaan-perbedaan itu, masih terdapat banyak lagi perbedaan-perbedaan lain, diantaranya: perbedaan keyakinan (ideologi), pemikiran, gaya hidup (life style), filosofi kehidupan dan lain-lain. Dari banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut, maka akan dibutuhkan juga cara untuk menyikapinya. Tentunya sikap tersebut bukanlah rumusan yang mutlak, setiap manusia akan berbeda menurut situasi dan kondisi masing-masing, akan tetapi yang menjadi pertimbangan adalah manusia juga dituntut untuk berbuat hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi segala perbedaan. Barangkali itulah yang menjadi fokus tulisan ini, pandangan saya mengenai kehati-hatian dan kebijaksanaan itu.

Ada dua kategori sikap yang ingin coba saya tuliskan terkait permasalahan di atas. Pertama, bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan antara pandangan (teori) yang fundamental dan urgen dalam masyarakat dengan pandangan golongan-golongan masyarakat tertentu. Pembagian pandangan disini memang bersifat relatif, yang saya maksudkan dengan pandangan (teori) yang fundamental dan urgen yaitu terbatas pada permasalahan ideologi dan halal-haram yang telah terang dijelaskan. Sedangkan pandangan golongan masyarakat tertentu antara lain pemikiran para ahli, life style dan filosofi kehidupan dimana golongan masyarakat tertentu bisa berbeda dan punya alasan masing-masing. Kategori kedua yaitu bagaimana seharusnya menyikapi khilafiyah (perbedaan yang bersifat pilihan) bagi umat muslim.

Manusia itu berbeda-beda. Kebanyakan manusia mengakui dan menyadari hal tersebut akan tetapi tidak siap terhadapnya. Akibatnya karena ketidaksiapan itu sering kali manusia menyalahkan orang lain hanya karena orang tersebut berbeda dengannya. Itulah alasan saya menguraikan kategori sikap yang pertama. Banyak orang menyebutkan orang lain salah atau bisa juga belum mendapat petunjuk (hidayah), ketika orang tersebut masih meyakini dan melakukan pandangan golongan masyarakat tertentu (dalam hal ini: pemikiran para ahli, life style dan filosofi hidup) yang berbeda dengannya. Padahal antara yang satu dengan yang lain atas dasar tertentu tiada yang dapat lebih dibenarkan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan karena bisa jadi menimbulkan efek buruk pada dirinya atau orang lain. Permasalahan akan menjadi berbeda ketika pandangan tersebut berkaitan dengan dengan masalah ideologi dan halal-haram yang telah jelas menurut dasar tertentu. Orang bisa saja dikatakan salah atau belum mendapat petunjuk ketika orang lain melanggar atau tidak mengikutinya. Perbedaan cara menyikapi pandangan ini akan bermanfaat pada kesiapan menerima perbedaan sehingga menghindarkan pada perselisihan yang tidak perlu dan penghormatan atas perasaan serta keyakinan orang lain.

Agama islam memang mengenal khilafiyah. Hal ini dikarenakan dasar-dasar dalam islam sendiri (Al-Qur’an dan Al-Hadits), beberapa diantaranya membutuhkan penafsiran dari para ahli yang mana penafsiran itu bermacam-macam. Pun pada salah satu ayat Al-Qur’an menyebutkan bahwa isi dalam Al-Qur’an itu ada ayat-ayat muhkamat (terang dan jelas maksudnya; dapat dipahami dengan mudah) dan ayat-ayat mutasyabihat (mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat menentukan arti mana yang dimaksud kecuali Allah). Ayat-ayat tersebut membutuhkan penafsiran, dan dalam kenyataannya penafsiran para ahli memang berbeda, itulah salah satu contoh khilafiyah. Hanya saja dalam banyak kejadian seringkali terjadi perselisihan terkait masalah khilafiyah ini, antara muslim satu dengan muslim lain saling menyalahkan, membenci, mencemooh bahkan saling mengkafirkan. Kemudian yang jadi pertanyaan adalah, apakah layak perbuatan tersebut dilakukan kepada sesama muslim? Bagaimanapun kebencian merupakan peyakit hati yang harus dihindari. Bahkan, dalam islam kepada binatang pun diperintahkan untuk menyayangi. Dan lagi jika dikaitkan dengan persatuan dan kesatuan, tentu permasalahan semacam ini akan dapat memecah belah umat islam.

Kejadian di atas memang patut untuk disayangkan. Berikut adalah pemikiran yang barangkali bijak terkait hal ini. Ketika ada pertanyaan: doa siapa yang akan diterima Tuhan, doa orang yang merasa salah atau doa orang yang merasa benar?, maka jawabannya adalah doa orang yang merasa salah. Lalu, bukankah suatu hal yang mengherankan apabila manusia mencari-cari dan kemudian menyalahkan orang lain, apalagi sampai membencinya. Itulah, seringkali paradigma yang berkembang adalah belajar itu untuk bisa menyalahkan orang lain, padahal seharusnya untuk bisa menyalahkan diri sendiri. Sebagai penutup, saya teringat dawuhnya KH Asrori Al-Ishaqy dalam salah satu pengajiannya: Khilafiyah itu jangan dilihat hanya dari perbedaannya - tidak akan ketemu, wong punya alasan masing-masing - tetapi lihatlah kepada ada atau tidaknya hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya.

Ditulis di:
Kalimongso