Tafakkur adalah memikirkan dan merenungkan makna, hakikat dan hikmat dibalik sesuatu untuk menemukan keagungan Tuhan dan kekuasaan-Nya daam rangka memurnikan keesaan-Nya. Dengan pemikirannya itu akan menambah keimanan manusia kepada Tuhan yang Maha Kuasa, Tuhan penguasa alam semesta, memperkuat keislaman dan keihsanan. Tafakkur (berpikir) penting dilakukan babi setiap manusia yang menginginkan ma’rifat (pengetahuan tentang hakikat Tuhan), sebab tatkala jiwa belajar dan mengolah ilmu lalu kemudian memikirkan dan menganalisisnya akan dapat membuka pintu-pintu keghaiban.
Tafakkur berdasarkan obyek dan sarananya dibagi menjadi enam macam yaitu:
1) Tafakkur atas kuasa Tuhan
Yaitu memikirkan dan merenungi ke-Maha Kuasa-an Tuhan yang telah menciptakan keindahan yang dapat kita saksikan, dan kuasa Tuhan yang telah menjadikan alam semesta (tujuh langit dan tujuh bumi beserta dengan isinya).
2) Tafakkur atas nikmat dan karunia Tuhan
Yaitu berpikir tentang apa yang diberikan kepada kita oleh Tuhan yang berupa nikmat dan karunia yang tidak terhitung jumlahnya (karena saking banyaknya)
3) Tafakkur atas pengetahuan Tuhan
Yaitu bertafakkur atas sifat Tuhan yang Maha Mengetahui. Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui akan segala yang lahir maupun yang batin. Bahwa semua yang dikerjakan oleh hamba-Nya, baik yang dilakukan secara fisik maupun yang dilakukan oleh anggota batin (nafs, qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa) diketahui oleh Tuhan.
4) Tafakkur atas nasib di akhirat
Yaitu dengan memikirkan tentang ibadah kita di dunia ini dan bagaimana nasib kita kelak di akhirat yang kekal abadi.
5) Tafakkur atas sifat kehidupan duniawi
Yaitu berpikir dan merenungkan karakteristik kehidupan duniawi yang sangat fana’ (temporal) dan senantiasa mengajak manusia kepada maksiat dan melupakan Tuhan.
6) Tafakkur atas datangnya kematian yang pasti dan keadaan seseorang yang telah mati
Dari keenam bentuk tafakkur tersebut, dapat diidentifikasikan model-model orang yang bertafakkur yaitu: tafakkur yang pertama adalah tafakkurnya para ulama; model tafakkur kedua adalah meteri syukur; sedangkan model yang ketiga sampai yang keenam tafakkur dalam rangka memurnikan amal dan peribadatan, ini merupakan tafakkurnya para hamba Tuhan yang tulus (‘abiddin).
Dasar bertafakkur antar lain disebutkan dalam Al-Qur’an dan yang artinya: “Orang-orang yang berdzikir (mengingat) Allah sambil berdiri dan duduk serta dalam keadaan berbaring, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka selamatkanlah kami dari siksa api neraka” (QS Ali Imran: 191). Kemudian Hadits nabi antara lain: "Memandang pada mushaf, berpikir tentangnya dan mengambil ibarat (pelajaran) pada keajaiban-keajaibannya" (HR Ibnu Abid Dunya); dan “Berpikir sesaat lebih baik dari pada beribadah setahun” (HR Ibnu Hibban).
Secara definitif tafakkur juga diformulasikan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Ihya’ Ulumuddin" mengungkapkan keutamaan berpikir dengan menceritakan kisah Muhammad bin Wasi’ bahwa orang laki-laki dari penduduk Bashrah naik kendaraan ke tempat Ummi Dzar setelah kematian Abi Dzar, lalu bertanya kepadanya tentang ibadah Abi Dzar, maka Ummi Dzar menjawab: siangnya semua adalah di sudut rumah dan berdzikir. Kemudian dari Hasan, ia berkata: Berpikir itu lebih baik dari mengerjaan shalat malam. Juga dari Fudhail, ia berkata bahwa berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.
Sebagai penutup, ada sebuah syair arab yang berbunyi: idzaa a-lmar’u kaanat lahuu fikroh, fa fii kulli syai’in lahuu ‘ibroh. Artinya: apabila sesseorang mempunyai pikiran, maka pada setiap sesuatu ia dapat mengambil pelajaran.
Sumber:
Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandyiah, Sebuah Tinjauan Ilmiyah dan Amaliyah
Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, M.Si