Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Kamis, 30 Juni 2011

Jeroan Manusia

Manusia, kata yang memang selalu menarik untuk diamati, dipelajari dan dikaji. Saya pikir hal itu wajar saja, dari manusia selalu bisa didapatkan sesuatu yang berbeda dan baru. Manusia dengan sifat-sifatnya, manusia dengan semua tingkah polahnya, hubungan manusia dengan sesamanya, Tuhannya, alam semesta dan masih banyak lagi. Tentu saja saya tidak akan menuliskan semuanya, sangat kurang ilmu dan pengetahuan saya tentang itu. Disini saya hanya akan menuliskan sedikit catatan saya tentang manusia yang saya dapatkan entah itu dari pengamatan ataupun pergaulan, kemudian nantinya mencoba menghubungkan dengan pengetahuan saya.

Manusia memang diciptakan bermacam-macam, diamati atau tidak saya yakin semua orang akan setuju dengan hal itu. Semakin diamati detailnya, maka akan didapatkan semakin banyak perbedaan. Bahkan ada yang bisa melihat jeroan (pedalaman) manusia dari telapak tangannya, raut mukanya dan lain-lain. Dinilai berdasarkan sifat-sifatnya akan didapatkan manusia penyayang, baik hati, lemah lembut, perasa dan lain-lain. Namun ada juga manusia yang kebalikan dari itu: pemarah, kikir, kasar, kaku dan lain-lain. Dilihat dari tingkah polahnya ada manusia yang banyak bicara tetapi sedikit bekerja dan tidak tau-menau maksudnya; ada lagi manusia yang sedikit bicara, banyak bekerja namun tidak tau-menau maksudnya; ada juga manusia yang sedikit bicara, banyak bekerja dan tau betul maksudnya; dan tentunya masih banyak lagi kemungkinan selainnya. Pengetahuan akan hal itu paling tidak nantinya bisa mempengaruhi pola pikir dan aktivitas manusia entah itu dalam bentuk lebih berhati-hati, peduli atau yang lain.

Dari banyaknya kemungkinan sifat dan tingkah polah manusia, kemudian akan timbul pertanyaan berikut: Tidak adil dong perbedaan-perbedaan itu, kasian mereka yang terlanjur diciptakan dengan sifat-sifat dan tingkah polah yang kurang baik?. Pertanyaan tersebut memang masuk akal, bagaimanapun akan ada banyak sekali yang ikut membentuk kepribadian manusia, sifat dan tingkah polahnya. Sebut saja orang tua, lingkungan, pergaulan dan lain-lain. Sebagai contoh orang yang hidup di Jawa berbeda sifat dan tingkah polah dengan yang hidup di Sumatera, yang orang tuanya maling berbeda dengan yang orang tuanya ulama, dan masih banyak lagi. Padahal orang-orang tersebut tidak ikut menentukan semua itu. Pertanyaan seperti itu dapat dijawab dari beberapa argumen berikut:
  • Manusia telah dibekali dengan hati dan akal pikiran dimana dengan bekal itu ketika telah cukup usia, manusia dapat membedakan, memilah dan memilih mana yang akan dilakukan atau ditinggalkannya.
  • Tuhan tiada menilai perbuatan manusia dari sifat-sifatnya dan baik atau buruk tingkah polahnya, tetapi antara yang diridloi-Nya atau tidak. Berapa besar pun kebaikan yang dilakukan manusia tiada menambah kebesaran-Nya dan berapa besar pun keburukan manusia tiada mengurangi keagungan-Nya.
  • Pada semua manusia akan selalu dijumpai kekurangan dan kelebihan. Itu memang hakikat penciptaannya, dimana manusia yang satu tiada yang lebih segala-galanya dari yang lainnya. Maka tidak dapat dibenarkan manusia yang merasa lebih atau kurang dari sesamanya.

Pengetahuan tentang banyaknya kemungkinan sifat dan tingkah polah manusia akan membawa pada suatu manfaat, antara lain dapat menumbuhkan sifat saling menghormati, menghargai dan ikut berempati kepada manusia lain. Seperi yang dituliskan Chairil Anwar dalam salah satu bait puisinya berjudul “Pemberian Tahu”, manusia memang memiliki nasib yang merupakan kesunyian masing-masing, antara manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain. Ada manusia yang merasa lebih tenang dengan diam, ada yang memang suka bicara, ada juga yang baru merasa senang ketika telah melakukan sesuatu. Dari semua kemungkinan itu tiada yang lebih mulia, kecuali yang lebih banyak kadar manfaat kepada sesamanya. Dan manusia pun tiada berhak untuk menilai itu, semua terserah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Barangkali akan ada juga yang bertanya tentang alasan mengamati manusia yang menghabiskan waktu dan tiada sangkut pautnya diri sendiri itu. Disini yang saya maksudkan mengamati bukan untuk mencari-cari kesalahan orang lain yang kemudian merendahkan atau memfitnahnya, akan tetapi mengamati untuk saling mengenal. Dan ternyata Tuhan pun dalam firmannya mengatakan demikian. Dalam Al-Qur'an Tuhan mengatakan bahwa telah menciptakan manusia itu: Syu'uban wa qabaila lita'arafu (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal). Yang dimaksud mengenal disini tidak sekedar bersalaman kemudian saling tahu nama masing-masing dan bergaul. Karena ternyata ada juga manusia yang tidak suka dengan proses cepat itu, dan kembali lagi itu kesunyian masing-masing. Yang dimaksud mengenal disini adalah mengenal sifat-sifat dan tingkah polah manusia yang nantinya membawa kepada sifat saling menghormati, menghargai dan ikut berempati seperti yang telah disebutkan di atas tadi. Wallahu a'lam


Ditulis di:
Kalimongso, 28 Juni 2011 11:01

Minggu, 26 Juni 2011

Al-Qur,an, Petunjukkah?

Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk berpikir. Begitu agung karunia Tuhan itu. Akal membedakan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Akal juga yang bisa menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Maka, sangat merugi manusia yang tak mau menggunakannya. Terkait dengan itu yang jadi permasalahan adalah apakah manusia telah menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya sehingga mengarahkannya kepada kebenaran, atau jangan-jangan akal malah menjerumuskannya kepada kesesatan? Lalu apakah salah manusia yang telah menggunakan akalnya walau itu untuk menanyakan hal yang tidak seharusnya? Barangkali itulah pokok bahasan yang ingin saya uraikan disini.

Untuk menjawab pertanyaan pertama, saya teringat pemikiran yang pernah disampaikan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam salah satu forumnya, Kenduri Cinta. Barangkali saya kurang cermat mengkajinya maka anggap saja ini versi saya. Dalam pemikirannya Cak Nun menghubungkan akal dengan hati dan mengibaratkannya dengan perumpamaan dalam Al-Qur’an yaitu: Al-misbahu fi zujajah (pelita dalam kaca), gambarannya barangkali mirip lampu bolam. Al-mishbah (pelita atau cahaya) diartikan dengan hati dan zujajah (kaca) diartikan dengan akal atau pikiran. Maksud dari perumpamaan tersebut yaitu: kalau hati merupakan pelita yang terdapat dalam kaca (pikiran), maka hati disini berfungsi untuk menyinari pikiran dan pikiran berfungsi untuk melindungi hati. Sedangkan hati sendiri (dalam hal ini hati nurani) merupakan sumber kebenaran yang berasal dari Tuhan (dengan kata lain hati juga sebagai penangkap cahaya kebenaran dari Tuhan). Hal ini berarti kemampuan hati untuk menangkap cahaya dari Tuhan juga tergantung dari bersih atau tidaknya kaca (pikiran) itu tadi. Jadi, dari perumpamaan tersebut dapat diketahui bahwa agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan dalam berpikir manusia harus mendengarkan suara hatinya. Pikiran juga harus senantiasa dijaga kebersihannya supaya memudahkan hati menerima petuntuk (hidayah) dari Tuhan. Lalu, yang dimaksud dengan pikiran yang kotor itu apa, yaitu apabila dalam berpikirnya hanya sekedar untuk mencari pembenaran, untuk menjelek-jelekkan, untuk merendahkan atau mengalahkan orang lain.

Akal memang diberikan kepada manusia untuk berpikir. Banyak sekali keterangan dalam Al-Qur’an mengenai hal itu. Saya sendiri sangat menaruh hormat kepada manusia yang mau menggunakan pikirannya, apapun yang dipikirkannya itu. Dalam hal ini, memang akallah yang akan mengarahkan kepada manusia supaya memperoleh petunjuk Tuhan, dan peluang untuk mendapatkan petunjuk itu masih akan terbuka selama manusia masih mau menggunakan pikirannya. Bisa jadi atau mungkin juga sering kali petunjuk itu datang setelah manusia berada dalam kesesatan. Hanya saja yang perlu dicermati disini adalah tujuan dari manusianya sendiri dalam menggunakan pikiran itu, tentunya petunjuk itu tidak mungkin datang bagi manusia yang hanya ingin mencari pembenaran, menjelek-jelekkan, merendahkan atau ingin mengalahkan orang lain.

Untuk menggambarkan tetang bermacam-macamnya pikiran saya ingin menuliskan pengalaman yang menurut saya menarik. Selain pengalaman itu sendiri disini saya juga ingin memberikan jawaban atas pertanyaan yang terdapat dalam pengalaman tersebut. Suatu ketika saya berkunjung ke salah seorang teman di Surabaya. Di salah satu pertemuan saya dengan teman tersebut ialah tepat di saat salah seorang temannya bertanya kepadanya. Kurang lebih pertanyaan itu demikian: Benarkah Al-Qur’an itu petunjuk? Kalau iya, bagaimana dengan ayat yang bunyinya alif-laam-miim (ayat pertama surat al-Baqarah, Ali Imran atau yang lain) yang katanya tidak punya arti? Bagaimana mungkin petunjuk itu tak punya arti? Bukankah itu membuktikan bahwa Al-Qur’an tidak bisa dikatakan sebagai petunjuk?

Bagi saya tentu boleh saja bertanya seperti itu selama memang bertujuan mencari kebenaran seperti yang disebutkan dalam keterangan di atas. Saya yang memang sejak kecil diarahkan untuk meyakini Al-Qur’an sebagai petunjuk, terus terang merasa tertunjuk mendengar pertanyaan itu. Tetapi justru hal itu yang membuatnya menarik, rasanya baru pertama kali saya mendengar pertanyaan semacam itu. Setelah mendengar pertanyaan itu, teman saya menjawabnya tetapi tidak memuaskan penanya. Saya sendiri waktu itu juga memberikan jawaban. Barangkali jawaban saya waktu itu juga belum bisa memuaskan penanya. Saya katakan demikian karena setelah menjawab pertanyaan itu saya langsung meninggalkan tempat karena memang ada teman lain yang sedang menunggu. Di sini saya akan menuliskan kembali dan melengkapi jawaban itu. Sebagai gambaran, jawaban yang akan saya tuliskan di sini hanya terkait dengan penggunaan dalil aqli (akal pikiran) bukan dalil naqli (nash Al-Qur’an atau Hadits).

Al-Qur’an secara istilah syari’at (terminologi) diartikan sebagai kalam Allah yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan perantara malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia dan yang membacanya bernilai ibadah. Dari pengertian tersebut didapatkan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk yang berisi surat-surat dari al-Fatihah sampai dengan An-naas, maka secara logika tidak bisa Al-Qur’an dilihat dari satu ayatnya saja. Sebagai perbandingan, Undang-Undang atau buku-buku yang lain juga tidak bisa dinilai demikian. Bayangkan jika Al-Qur’an, Undang-Undang atau buku-buku yang lain itu dilihat dari satu kalimatnya saja, misalkan satu kalimat tentang bersetubuh atau menyusui, tidak bisa kan Al-Qur’an, Undang-Undang atau buku-buku itu sebagai buku porno. Itulah gambarannya.

Dari segi yang lain, pertanyaan di atas juga dapat dijawab demikian: Ayat yang bunyinya alif-laam-miim itu bisa juga dikatakan petunjuk bagi manusia. Petunjuk bahwa Allah mempunyai ilmu yang luas sedangkan manusia berada dalam keterbatasan, ayat itu sebagai bukti bahwa karena luasnya ilmu Allah maka masih ada rahasia yang tidak diketahui manusia. Dan dalam kenyataannya pun memang demikian.

Itulah jawaban dari pertanyaan dalam pengalaman saya. Karena keterbatasan saya, bisa jadi jawaban tersebut juga belum memuaskan penanya. Akan tetapi jawaban dari orang lain yang lebih kompeten saya yakin nantinya bisa memberikan hasil berbeda. Dari situ saya ingin menyimpulkan: Suatu pandangan dalam agama adalah bagian dari pandangan hidup yang memang sangat kompleks, menyangkut orang banyak dan di dalamnya terdapat banyak pertanyaan. Tentunya jawaban yang hanya dari seorang saja (kalau jawaban itu tidak memuaskan atau tidak masuk akal), tidak bisa menyimpulkan bahwa pandangan itu salah atau keliru. Hal ini karena di atas langit masih ada langit. Wallahu a’lam

Kamis, 23 Juni 2011

Lima Syarat Satria Jawa

Terdapat lima syarat yang ada pada satria Jawa. Sebagai keturunan Jawa patut kiranya mengetahui kelima syarat tersebut. Itulah salah satu yang saya dapatkan setelah membaca buku Bumi Manusia, bagian pertama Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Lima syarat tersebut antara lain wisma, wanita, turangga, kukila dan curiga. Berikut ini adalah penjelasan dan arti dari lambang-lambang tersebut.

1. Wisma

Wisma berarti rumah. Tanpa orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, tetapi tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali.

2. Wanita

Tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Wanita bukan sekedar istri untuk suami, dia sumbu pada sumua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal. Seperti itu juga seorang satria harus memandang seorang ibu dan berdasarkan itu pula anak-anak seorang satria yang perempuan nanti harus dipersiapkan.

3. Turangga

Turangga berarti kuda. Kuda ialah alat yang dapat yang bisa membawa seorang satria kemana-mana. Itulah ilmu, pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan, keahlian dan akhirnya – kemajuan. Tanpa turangga seorang satria takkan jauh langkahnya, juga pendek penglihatannya.

4. Kukila

Kukila berarti burung. Itulah lambang keindahan, kelangenan (hobi), segala yang tak ada hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu seorang satria hanya sebongkah batu tanpa semangat.

5. Curiga

Curiga ialah keris. Keris sebagai lambang kewaspadaan, kesiagaan dan keperwiraan. Keris juga alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tapa keris yang empat tadi akan bubar binasa bila mendapat gangguan.

Itulah lima syarat yang harus dimiliki seorang satria menurut leluhur Jawa. Memang, barangkali di kehidupan yang modern ini permasalahan akan lebih kompleks dari sekedar itu, barangkali juga akan ada yang mengatakannya lebih sederhana – tergantung yang merasakannya. Apapun itu paling tidak hal tersebut menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu pun, leluhur nusantara sudah maju keilmuan dan peradabannya. Selain sebagai pengetahuan, saya sendiri punya pandangan berkaitan dengan catatan saya ini.

Catatan ini boleh jadi penting untuk zaman seperti saat ini. Banyak warisan berharga dari leluhur nusantara (di sini saya khususkan Jawa) yang mulai banyak dilupakan pewarisnya sendiri. Lebih ironis lagi hal-hal semacam itu seringkali dianggap ketinggalan zaman. Banyak orang lebih tertarik untuk mengkaji, menggeluti bahkan memuja dan mengagung-agungkan budaya yang tidak ada sangkut paut dengan asal-muasalnya. Tiada salah memang, dunia memang sedang menghendaki semacam itu. Cuma saya pikir tiada salah juga untuk mengkaji hal tersebut. Salah satu wawasan keilmuan mengatakan bahwasannya manusia harus dapat menemukan dirinya sendiri sebelum menemukan selainnya. Hal itulah yang akan mengantarkannya kepada kesuksesan, kejayaan dan kemudian natinya kebahagiaan dirinya. Lebih jauh lagi hal itu pula yang akan mengantarkannya untuk menemukan Tuhannya. Lalu, bagaimana mungkin seseorang dapat mengenal dirinya sendiri sepenuhnya tanpa ia tau asal-usulnya?

Barangkali saya salah, mari coba cermati analisis sederhana ini. Seseorang yang buta warna atau mengidap penyakit turunan tertentu akan menurunkan buta warna atau penyakit turunannya kepada anak-anaknya. Kalaupun tidak, minimal sang anak akan dikatakan pembawa sifat (penyakit) dari orang tuanya. Semakin lama (turun-temurun) bisa jadi kadar dari pembawaan sifat (penyakit) tersebut akan semakin berkurang. Tetapi juga lebih memungkinkan (dibandingkan dengan keturunan yang sama sekali tidak membawa penyakit dari orang tuanya) keturunan kesekian tersebut dengan kondisi tertentu akan mengidap penyakit yang sama seperti leluhurnya. Sekarang coba kaitkan dengan manusia dalam hal pengetahuan akan asal-usul (sejarahnya). Penyakit itu ibarat kesuksesan dan kejayaan manusia. Kesuksesan dan kejayaan itupun bisa jadi pada suatu masa tertentu akan semakin berkurang. Tetapi dengan kondisi tertentu kesuksesan dan kejayaan itu akan lebih memungkinkan untuk didapatkannya kembali. Hal itu berarti memang dibutuhkan kondisi tertentu untuk mendapatkannya. Yang dimaksudkan dengan kondisi tersebut adalah usaha dan kemauan untuk mengetahui sejarah dan asal-usulnya. Jika hal tersebut dikaitkan kembali  dengan penyakit di atas, tentunya keturunan yang akan mengidap penyakit yang sama dengan leluhurnya ialah keturunan yang meniru tingkah polah leluhurnya. Sedangkan, mana mungkin ia bisa menirunya kalau ia tidak tau sejarahnya. Itulah pentingnya mengenal asal-usul dan sejarah. Paling tidak untuk menumbuhkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa yang beradab dan berkebudayaan tinggi.

Sumber:
Bumi Manusia (1980), bagian pertama Tetralogi Buru 
Pramoedya Ananta Toer

Minggu, 19 Juni 2011

Puasa, Sarana Menggapai Kesuksesan

Ada banyak sarana untuk menggapai kesuksesan hidup. Beberapa diantaranya berkaitan langsung (merupakan hubungan sebab akibat) dengan yang ingin digapai tersebut dan beberapa yang lain tidak berhubungan langsung. Sebut saja ketika seseorang ingin menjadi dokter, maka yang seharusnya ia usahakan ialah berusaha untuk dapat kuliah di fakultas kedokteran atau (jika sudah) ia harus bersungguh-sungguh dalam belajar. Itulah sarana yang berhubungan langsung dengan kesuksesan yang ingin digapai. Namun ada juga sarana yang tidak berhubungan langsung dengan kesuksesan yang ingin digapai. Dalam hal ini keyakinanlah yang akan berperan dominan. Adakalanya yang diusahakan itu tidak berkaitan langsung dengan kesuksesan, adakalanya juga yang dilakukan memang gak nyambung, tergantung keyakinan itu tadi. Tulisan ini akan mencoba mencermati hal tersebut.

Barangkali ada banyak sekali sarana tidak  langsung untuk menggapai kesuksesan. Ada yang positif ada juga yang negatif. Yang positif contohnya: puasa, berdoa, beribadah, dan lain-lain. Sedangkan yang negatif seperti: minta bantuan dukun, pakai jimat, dan lain-lain. Disini satu hal yang ingin saya cermati, yaitu puasa. Puasa bagi umat muslim, apabila dilakukan dengan ketentuan tertentu, akan bernilai ibadah. Terlepas dari hal itu, puasa juga seringkali dikaitkan tirakat dalam adat masyarakat jawa. Orang-orang tua seringkali menasehati anak-anaknya untuk bertirakat agar dikemudian hari dapat hidup enak, meraih sukses dan lain-lain.

Terdapat sebuah fenomena alam yang mecontohkan kaitan bertirakat (dalam hal ini berpuasa) dengan kesuksesan. Bagi saya, hal ini penting karena memang kehidupan di alam semesta ini berjalan menurut aturan hukum alam (sunnatullah). Untuk itu, selayaknya setiap fetiap fenomena yang terjadi di alam ini dicermati, dihayati yang kemudian diambil hikmah dan pelajaran. Fenomena yang saya maksudkan di sini adalah perubahan ulat menjadi kupu-kupu. Saya sendiri mendapatkan ilmu ini ketika berada di warung kopi. Barangkali agak berlebihan, tapi (terlepas dari madlorot-nya) seringkali saya menyebutkan warung kopi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Orang bicara politik (meskipun sebenarnya tidak tau), ekonomi, sosial dan berbagai macam ilmu di warung kopi, hehe. Suatu ketika di warung kopi seorang bapak berbicara dengan saya tentang puasa sunah. Terkait dengan itu, tiba-tiba ia bicara mengenai seekor ulat. Seekor ulat yang setiap hari makan daun dan berjalannya pun merangkak. Lalu ulat pun bertirakat (si bapak tadi menyebutnya berpuasa). Setelah sekian waktu ulat pun berubah menjadi kepompong kemudian kupu-kupu yang dapat tebang dan menghisap madu. Subhanallah, begitu sukses ulat itu. Puasa merubahnya dari yang hanya bisa merangkak manjadi bisa terbang, dari yang hanya makan daun menjadi menghisap madu. Puasa menjadikannya meraih kesuksesan.

Hubungan puasa dengan kesuksesan selain dapat digambarkan dari fenomena ulat di atas juga dapat dicermati dari manfaat-manfaat yang ditimbulkan. Saya mempunyai analisis sederhana mengenai hal ini. Ketika berpuasa, manfaat-manfaat yang ditimbulkan dapat digambarkan dari hal-hal berikut:
  • Orang yang berpuasa (menurut istilah syariat islam) adalah orang yang menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa. Dalam hal ini puasa melatih orang untuk menahan diri.
  • Ketika berpuasa, agar orang dapat bertahan (tidak kehabisan energi) sampai bedug maghrib tiba maka ia akan mengatur aktivitasnya. Puasa juga tiada akan bernila ketika orang yang yang berpuasa menggunakan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Ini berarti puasa melatih orang untuk mengatur diri.
  • Orang yang berpuasa akan sabar walau dalam himpitan rasa lapar dan dahaga. Ini berarti puasa melatih kesabaran.

Akan ada banyak lagi manfaat-manfaat puasa selain tiga yang saya sebutkan di atas. Tapi, kaitannya dengan kesuksesan barangkali tiga hal di atas menjadi dominan. Bayangkan ketika orang sukses tidak mampu menahan diri. Ia akan berfoya-foya, hidup boros dan pada akhirnya kesuksesan yang diraihnya pun tidak akan tahan lama. Orang yang sukses, maka pastilah ia pandai mengatur waktu dan pandai mengatur dirinya sendiri. Begitu juga, sedikit atau banyak kesuksesan pasti diraih dengan kesabaran dan ketekunan. Dan itu semua dapat dilatih dengan berpuasa.

Ada banyak sekali waktu yang dianjurkan untuk berpuasa menurut islam. Semakin sering berpuasa, maka semakin baik. Nabi muhammad saw sendiri, meski melarang umatnya untuk berpuasa sepanjang waktu, menganjurkan untuk berpuasa tiga hari setiap bulan, jika mampu lagi maka berpuasalah senin-kamis, atau jika mampu lagi berpuasalah nabi Dawud (sehari puasa sahari berbuka). Selain itu dalam islam juga terdapat waktu dimana sebulan penuh diwajibkan untuk berpuasa. Dari keterangan-keterangan di atas, tentulah hal tersebut tidak akan sia-sia baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Itulah sedikit tulisan saya mengenai puasa sebagai sarana menggapai kesuksesan. Seperti biasa, anda juga boleh tak percaya. Wong yang nulis juga bukan ahli berpuasa, hehe.

Kamis, 16 Juni 2011

Syeikh Siti Jenar Vs Bhiksu Tong

Judul di atas tiba-tiba terlintas dalam benak saya terkait pemikiran tentang ketuhanan. Menggelitik memang, jujur saya sendiri menjadi tertarik untuk menuliskan pandangan itu  setelah terlintas judul tersebut. Kata vs (versus) disini tidak saya artikan ‘melawan’ seperti dalam kamus bahasa Inggris tetapi ‘memperbandingkan’ (maksudnya memperbandingkan antara Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong), terserah saja bagi yang tidak terima, hehe. Sama halnya dengan tulisan saya yang berjudul ‘ngopi dan ngerokok, adakah hikmahnya?’, tulisan ini juga mengungkapkan sudut pandang saya. Hanya saja barangkali tulisan ini lebih esensial karena berkaitan dengan ketuhanan. Saya yakin banyak ahli yang telah menguraikan panjang lebar pandangannya mengenai pokok bahasan ini, untuk itu saya akan sangat terbuka dengan semua komentar dan masukan.

Syeikh Siti Jenar merupakan salah seorang tokoh fenomenal dalam proses penyebaran agama Islam di pulau jawa. Tokoh ini disebutkan dihukum mati oleh walisongo karena ajarannya yang dianggap meresahkan. Orang awam yang belum sampai tingkat keimanannya bisa jadi tersesat oleh karena ajaran Syeikh Siti Jenar. Ajarannya yang terkenal adalah ‘wahdatul wujud’ atau ‘manunggaling kawula gusti’ (bersatunya hamba dengan Tuhannya). Lain halnya dengan Syeikh Siti Jenar, Bhiksu Tong (Tong Sam Cong), meski cuma legenda yang saya sendiri belum tau kebenarannya, merupakan seorang tokoh agama Budha. Salah satu ajaran yang dibawanya (yang barangkali juga ajaran Budha) adalah teori ‘kosong adalah berisi, berisi adalah kosong’, sebuah ajaran yang juga terkenal tapi seolah tak punya makna jika diamati secara sederhana. Dari kedua ajaran yang telah disebutkan di atas, disini saya akan mencoba menggali maknanya dan kemudian membandingkannya. 

Sebagai gambaran, dalam upaya menggali makna dari ajaran ‘manunggaling kawula gusti’ dan ajaran ‘kosong adalah berisi, berisi adalah kosong’, saya hanya menggunakan satu kerangka berpikir. Hal ini karena kedua ajaran tersebut berdasarkan kerangka berpikir yang saya gunakan akan mengarah pada makna yang sama dan saling berkaitan. Di sinilah yang sebenarnya ingin saya ungkapkan, di mana setelah membandingkan ajaran dari kedua tokoh di atas, ternyata dihasilkan kesimpulan bahwa kedua ajaran mengarah pada makna sama dan saling berkaitan.

Kerangka berpikir yang saya gunakan dimulai dari analisis ilmiah yang pernah saya lihat dalam salah satu video Harun Yahya. Di situ dijelaskan bahwa ketika manusia melihat suatu benda, maka bayangan dari benda tersebut akan ditangkap oleh retina mata. Kemudian retina akan menyampaikan apa yang ditangkapnya ke otak. Ketika sampai di otak, bayangan benda yang disampaikan itu pun dalam keadaan terbalik dari aslinya. Setelah itu otak akan mengolah dan menerjemahkan bayangan yang diterimanya itu sehingga benda tampak seperti yang ada dalam penglihatan.

Dari penjelasan di atas, satu hal yang tampak dan nantinya menjadi pertanyaan. Didapatkan bahwa yang ada dalam penglihatan manusia adalah hasil olahan dan terjemahan otak manusia yang terbatas. Kalau hasil olahan dan terjemahan otak, berarti itu bukanlah wujud sebenarnya dong. Ketika manusia mendengar, menyentuh, mencium atau yang lain dengan kerangka berpikir yang sama nantinya juga akan menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Lalu yang jadi pertanyaan, apa yang sebenarnya dilihat, didengar, disentuh manusia itu? Bukankah itu menunjukkan ketiadaan manusia (alam semesta) dalam keadaannya? Bukankah itu menunjukkan kekosongan manusia (alam semesta) dalam keisiannya? Itulah yang dimaksudkan dengan teori ‘berisi adalah kosong’. Lalu akan timbul pertanyaan lagi, siapakah yang ada dalam kekosongan itu? Bukankah selalu ada Dzat yang Maha Menguasai? Itulah yang dimaksudkan dengan teori ‘kosong adalah berisi’.

Dengan kerangka berpikir dan pertanyaan yang sama, akan didapatkan pula makna ajaran ‘manunggaling kawula gusti’. Kerangka berpikir di atas menunjukkan ketiadaan manusia dalam keadaannya. Ketika manusia (alam semesta) tiada maka yang ada hanyalah Tuhan penguasa alam semesta. Jika begitu, maka manusia telah melebur menjadi satu dengan Tuhannya (wahdatul wujud).

Itulah, sebuah pandangan yang barangkali membingungkan. Di sini saya tidak dalam posisi mempengaruhi anda yang kebetulan membaca tulisan ini. Walaupun saya pernah gemetar karena memikirkan hal tersebut, tetapi yang lebih ingin saya ungkapkan berkaitan dengan ajaran ‘manunggaling kawula gusti’ dan ‘kosong adalah berisi, berisi adalah kosong’ adalah maknanya, perbandingannya dan barangkali kesimpulannya. Dua buah ajaran dari Syeikh Siti Jenar dan Bhiksu Tong (meski cuma legenda), dua orang tokoh yang sangat berbeda, bukan hanya dari segi kepercayaannya, tetapi juga asal-usulnya, zamannya dan masih banyak lagi. Dalam kenyataannya (berdasarkan kerangka berpikir dalam tulisan ini tentunya), kedua ajaran mengarah pada makna yang sama dan saling berkaitan. Dan Tuhan memberikan ilmu (rahasia)-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, wallahu a’lam.

Minggu, 12 Juni 2011

Tuntuan Diri Dalam Menjalani Hidup

Sebagai gambaran awal, tulisan ini adalah berisi sebuah analisis kemanusiaan yang dikemukakan oleh Abu Bakar As-shiddiq. Sebelum saya menuliskan catatan tentang analisis kemanusiaan, terlebih dahulu akan saya uraikan sedikit gambaran mengenai Abu Bakar As-shiddiq. Tulisan ini juga tidak sepenuhnya sama seperti yang saya dapatkan dari sumber, akan tetapi sedikit saya bumbui pemikiran-pemikiran dangkal saya. Saya berharap semoga Allah senantiasa melindungi hamba-Nya.

Abu Bakar As-shiddiq merupakan salah seorang sahabat nabi Muhammad saw. Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki beliau. Gelar As-shiddiq diberikan kepada beliau karena semasa hidupnya beliau selalu berkata benar. Beliau termasuk golongan as-sabiqunal awwalun (golongan orang yang pertama kali masuk islam). Beliau yang menggantikan nabi sebagai imam sholat ketika nabi berhalangan. Beliau merupakan salah satu dari empat sahabat nabi yang tergolong khulafaur-rasyidin (pemimpin yang diberi petunjuk). Beliau merukapan satu-satunya sahabat yang menemani nabi hijrah dari Makkah ke Madinah. Disamping itu selain sebagai sahabat, Abu Bakar As-shiddiq juga merupakan mertua nabi Muhammad saw dari pernikahan beliau dengan Aisyah binti Abu Bakar. Oleh karena keistimewaan-keistimewaan tersebut, patut kiranya kita sebagai umat nabi Muhammad saw mengkaji analisis kemanusiaan yang dikemukakan Abu Bakar As-shiddiq. 

Abu Bakar As-shiddiq mengemukakan dalam analisisnya bahwa manusia dalam menjalani hidupnya tidak akan terlepas dari adanya tuntutan-tuntutan atau dorongan-dorongan yang telah diberikan oleh Allah swt. Tuntutan-tuntutan atau dorongan-dorongan tersebut yang nantinya akan selalu menyertai setiap perbuatan yang dijalani manusia sehingga perbuatan tersebut bernilai benar atau salah, baik atau buruk, atau yang lain. Tentu saja Tuhan dalam menciptakan segala sesuatu ada tujuannya, termasuk ketika memberikan tuntuan atau dorongan tersebut kepada manusia. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah enam macam tuntutan atau dorongan yang akan menyertai setiap perbuatan manusia berikut gambaran dan tujuannya:

1. Sinyal Menuju Shiratal Mustaqim (Jalan yang Lurus)

Tuntutan ini diartikan sebagai hidayah (petunjuk) dan tuntunan-tuntunan baik itu melalui ilham yang benar, rasa, nurani atau fitrah maupun melalui dakwah rosul melalui kitab suci. Tuntutan berupa sinyal menuju shirathal mustaqim ini menjelaskan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Adanya tuntutan ini berarti dari dalam diri manusia akan selalu menuntut untuk berbuat baik dan benar. Oleh karena itu, baik itu ilham yang benar, rasa, nurani atau fitrah maupun dakwah rasul melaui kitab suci selalu menuntut manusia untuk melakukan kebaikan dan kebenaran. Adapun tujuan penciptaan tuntutan ini adalah supaya manusia dapat kembali (menemukan jalan mengenal dan mendekat) kepada Allah swt. 

2. Dorongan Iblis

Dalam menjalani kehidupan manusia menuju shiratal mustaqim, manusia akan diberi musuh yaitu iblis. Hal ini telah ditentukan oleh Allah swt, bahkan telah diberikan sebelum manusia diturunkan di muka bumi. Allah juga tidak menciptakan iblis untuk menyensarakan manusia, tetapi untuk meningkatkan derajat manusia di atas iblis. Sebagai analogi, dalam sebuah pertandingan bola akan ada dua tim yang bertanding, sedangkan pemenangnya adalah tim yang dapat mencetak gol lebih banyak ke gawang lawannya. Bayangkan jika dalam pertandingan tersebut hanya ada satu tim dan tidak ada lawannya, berapa banyak gol pun yang dapat diciptakan tidak akan berarti apa-apa. Untuk itu tidak selayaknya manusia membenci iblis, akan tetapi cukup dengan menyadari iblis itu musuh manusia. Hal ini menjadi penting karena bisa jadi hal tersebut akan menjerumuskan manusia untuk meniru sifat-sifat iblis. Ingat bahwa iblis dilaknat oleh Allah karena membenci ciptaan-Nya yaitu manusia.

3. Nafsu

Salah satu dorongan yang menjadi watak nafsu adalah keinginan untuk selalu meningkat. Allah menciptakan nafsu adalah sebagai modal bagi manusia supaya kehidupannya meningkat. Sebagai pertimbangan, manusia itu tercipta dari tanah, sedangkan tanah itu cenderung ke bawah. Untuk itu diperlukan power supaya manusia punya daya peningkatan sehingga perjalanannya menuju shiratal mustaqim menjadi lancar. Dengan adanya nafsu, manusia menjadi punya keinginan agar amal ibadahnya meningkat. Akan tetapi nafsu juga bisa menjadi partnernya iblis. Bisikan-bisikan iblis menjadikan keinginan untuk meningkat menjadi terlalu berlebihan. Nafsu yang seharusnya sebagai modal manusia agar menjadi mulya untuk menuju Allah, akan tetapi kadarnya menjadi berlebihan antara lain ingin menyamai Allah, meniadakan Allah dalam pikiran dan perbuatannya, dan lain-lain.

4. Syahwat

Berbeda dengan nafsu, syahwat merupakan keinginan untuk makan dan berhubungan seksual. Dalam penciptaan syahwat hikmah yang tekandung di dalamnya adalah Allah menciptakan syahwat makan sebagai sarana untuk melangsungkan hidup manusia dan menciptakan syahwat seksual sabagai sarana untuk melangsungkan jenisnya. Akan tetapi sarana seperti itu pun dapat dibelokkan oleh iblis. Karena kenikmatan menuruti syahwat, iblis pun menggoda dengan iming-iming menjadikan kenimatan tersebut seolah-olah sebagai surga sehingga manusia lupa tugas awal fitrahnya menuju shiratal mustaqim. Syahwat yang seharusnya nikmat akan tetapi dijadikan sebagai alat untuk melanggar ketentuan Allah.

5. Dunia

Dunia merupakan alat perjalanan hidup manusia untuk melanjutkan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi. Dunia pada hakekatnya telah ditundukkan oleh Allah untuk melayani manusia. Rizki, jabatan, jodoh dan lain-lain pun pada dasarnya telah diatur oleh Allah. Dalam hal ini iblis akan menggoda manusia dengan menjadikan seolah-olah kenikmatan nafsu dan syahwat hanya dapat diperoleh melalui dunia. Akibatnya manusia berlebih-lebihan dalam urusan dunia, berfoya-foya dan melupakan Allah swt.

6. Tuntutan Jasad

Adakalanya manusia ketika digoda nafsunya tidak bisa, ketika digoda syahwatnya merasa tidak mampu, ketika digoda dengan dunia merasa tidak bisa apa-apa, dalam hal ini iblis akan menggoda manusia manusia dengan tuntutan jasadnya. Tuntutan jasad adalah keingnan untuk berhenti (cepat lelah). Jasad adalah tempat atau wadah untuk mengekspresikan semua aktivitas kehidupan manusia. Cara iblis untuk menggoda manusia melalui tuntutan jasad adalah mempercepat keinginan berhenti tersebut dengan memisahkan kekuatan kejiwaannya (dalam hal ini adalah nafsu atau keinginan untuk meningkat) dengan kekuatan fisiknya. Akibatnya manusia menjadi mudah putus asa.

Itulah catatan saya mengenai tuntutan-tuntutan atau dorongan manusia dalam menjalani kehidupan. Sebuah analisis kemanusiaan yang menurut pandangan saya sangat luar biasa dari Abu Bakar As-shiddiq, semoga Allah senantiasa meridloinya. Paling tidak hal tersebut dapat dijadikan acuan untuk melihat diri kita, meraba apa-apa yang kita kerjakan. Tuntutan atau dorongan mana yang mendominasi setiap perbuatan yang kita lakukan. Dorongan menuju shiratal mustaqim-kah, nafsukah, syahwatkah, duniakah atau jasadkah. Bahkan jangan-jangan tuntutan dari iblis dari iblis yang mendominasi perbuatan kita, naudzu billahi min dzalik.

Sumber:
Rekaman Pengajian KH Imran Jamil Jombang

Sabtu, 04 Juni 2011

Menjadi Dirimu Atau Bayanganmu

Ketika bercermin, seseorang akan dapat melihat bayangan dirinya. Bayangan tersebut tampak sama dan melakukan hal yang sama pula dengan pemiliknya. Ketika berdiri, duduk, tertawa, menangis atau apapun, bayangan akan melakukan hal yang sama. Berawal dari pemikiran tentang hal tersebut, saya mencoba menuliskan tulisan ini. Saya mencoba menulis tentang cermin, manusia dan bayangannya. Dan nantinya akan saya coba pula menelusuri maknanya dan mengaitkannya dengan kehidupan manusia. Tentu ada banyak dan bermacam-macam pemikiran tentang hal ini, di sini saya mencoba mengungkapkannya dari sudut pandang saya. Sebagian orang mungkin juga menganggap aneh berpikir tentang hal ini. Harapan saya, semoga dari keanehan-keanehan yang ada, nantinya dapat dipetik pelajaran yang membawa pada suatu kemanfaatan.

Pada dasarnya, segala sesuatu ketika melakukan suatu perbuatan akan ada dasar dan orientasi yang akan membawanya pada suatu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Itulah yang disebut sebagai kodrat. Hal ini termasuk pada diri manusia saat bercermin, bukan hanya manusianya tetapi juga bayangan dari manusia tersebut. Pada diri manusia, dasar dan orientasi tersebut ada pada hati nuraninya. Kelembutan hati dapat menerima dan menangkap cahaya-cahaya petunjuk dari Tuhan yang bersifat Maha Lembut. Dari situlah dasar dan orientasi manusia sehingga apa yang dilakukanya bernilai benar, baik dan indah. Pada diri manusia yang pada dasarnya telah tertanam nilai-nilai tersebut akan menjadikan apa-apa yang dilakukan benar-benar bernilai (di sisi Tuhan), yaitu ketika ia berjalan sesuai kodrat dengan selalu mendengarkan hati nuraninya. Sementara itu, pada bayangan diri manusia yang menjadi dasar dan orientasi adalah pemilik bayangan itu sendiri. Bayangan tidak punya hati nurani sebagai penangkap dan penerima petunjuk Tuhan. Bayangan walau melakukan hal yang sama dengan pemilik, tapi dia melakukannya hanya untuk menyerupai (tampak serupa) pemilik tersebut. Penilaian di sini tergantung dari apa kata pemilik bayangan atau mungkin manusia lain. Jadi jelas saja yang semacam ini tidak akan punya nilai di mata Tuhan. Kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau keburukan, keindahan atau kejelekan, semua tidak akan bernilai apa-apa.

Itulah sekilas tentang diri manusia dan bayangannya. Yang menarik bagi saya untuk diungkapkan disini adalah bagaimana kaitan hal tersebut dengan kehidupan. Sebenarnya telah saya singgung sebelumnya, hal ini akan saya kaitkan dengan nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Di sini manusia punya pilihan untuk menjadi dirinya sendiri atau menjadi bayangannya. Kemudian nantinya akan dikaitkan dengan nilainya di sisi Tuhan. Ketika menjadi dirinya sendiri manusia punya dasar dan orientasi akan nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Tidak cukup di situ, manusia juga akan berjalan sesuai kodratnya dengan mendengarkan kata hatinya. Dan yang terpenting, hal inilah yang menjadikan apa-apa yang dilakukan manusia menjadi benar-benar bernilai di hadapan Tuhan.

Sementara itu ketika menjadi bayangannya, manusia akan berjalan tanpa dasar dan orientasi. Manusia hanya akan disibukkan dengan sesuatu yang tampak serupa dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dalam kaitannya dengan perbuatan, manusia di sini akan selalu diikuti keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, entah majikannya, atasannya atau mungkin wanita. Dan bahayanya hal semacam ini tidak akan mempunyai nilai apapun di hadapan Sang Pencipta. Semua kebenaran, kebaikan dan keindahan yang diakukan pun akan sia-sia.

Harus diakui memang, permasalahan yang saya ungkapkan di sini adalah sangat berat untuk dilakukan. Saya sendiri menuliskan permasalahan ini sama sekali bukan karena telah bisa menguasainya. Tetapi justru karena seringkali pikiran saya dihantui oleh permasalahan itu. Dan saya yakin Tuhan akan selalu bersama hamba-Nya yang mau berfikir. Permasalahan utama disini bukan tentang perbuatan manusia, tetapi lebih pada rasa dan hati. Perbedaan antara ketika manusia menjadi dirinya atau bayangannya juga sangat tipis, akan tetapi memiliki perbedaan nilai yang sangat besar di hadapan Tuhan. Jika diamati lebih lanjut, akan ditemui juga bahwa permasalahan yang dihadapi manusia di sini adalah tentang keikhlasan. Permasalahan di mana seringkali manusia tidak dapat menguasai rasa dan hatinya ketika melakukan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Sementara sumber dari permasalahan itu adalah dasar dan orientasi manusia ketika melakukan kebenaran, kebaikan dan keindahan itu sendiri. Dan menurut pandangan saya, manusia akan tetap bertindak sebagai bayangannya ketika yang menjadi dasar dan orientasi itu adalah dunia.

Dari permasalahan di atas, maka perlu kiranya bagi manusia untuk senantisa menanamkan dalam hati dan mengusahakan pada diri untuk selalu memasukkan unsur Tuhan dalam setiap perbuatan yang dilakukan dan dalam segala urusan yang terjadi padanya. Tentunya hal ini akan sangat sulit, tapi paling tidak ada beberapa hal yang bisa diusahakan. Menurut pandangan saya, hal ini bisa dimulai dengan membiasakan diri untuk berpikir (bertafakkur) dan introspeksi diri. Kemudian buah dari berpikir akan menumbuhkan kesadaran pada diri manusia akan nilai-nilai kehidupan. Kesadaran juga yang akan menuntun setiap tindakan manusia kaitannya dengan nilai-nilai tersebut. Proses dari hal di atas nantinya akan membentuk keyakinan pada diri manusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi rasa dan hatinya dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Jadi, usaha yang dimaksudkan di sini tidaklah instan, tetapi melalui proses dan tahapan. Bahkan bisa jadi proses dan tahapan tersebut berawal dari keburukan, kesalahan ataupun kejelekan. Banyak cerita mengenai hal ini, manusia yang awalnya buruk, salah dan jelek tetapi akhirnya menjadi orang yang mulia. Untuk itu, perlu kiranya bagi kita yang telah mampu berbuat baik untuk tidak meremehkan orang yang masih tersesat dalam keburukan, kesalahan atau kejelekan karena bisa jadi orang tersebut pada akhirnya lebih baik dari yang meremehkannya. Dan sebaliknya pula, bagi seseorang yang mungkin belum bisa meningggalkan keburukan, kesalahan ataupun kejelekan perlu kiranya untuk selalu berpikir dan introspeksi diri. Karena proses itulah yang menurut saya nantinya bisa membuka pintu rahmat dan petunjuk Tuhan. Dan tentunya, sangat penting juga untuk selalu memohon petunjuk Yang Maha Kuasa.

Semoga menjadi renungan, wallahua’lam.