Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Jumat, 20 Mei 2011

Itu Bukan Karena Nafsuku

Suatu ketika seorang teman bertanya kepadaku tentang suatu pilihan. Sangat mungkin teman ini berniat untuk mengujiku karena memang umurnya yang beberapa tahun lebih tua dariku. Juga karena aku memang sering saling berbagi dengannya tentang masalah-masalah kehidupan semacam ini. Dia tanya kepadaku tentang apa yang akan aku lakukan ketika aku dihadapkan pada sebuah tirai terkunci, sementara aku telah memiliki kuncinya yang diasumsikan kunci tersebut tidak akan pernah hilang. Dari sini permasalahan sekilas tampak mudah karena aku bisa membukanya kapanpun sesukaku. Akan tetapi permasalahan pun bertambah ketika dia bilang, “Ada hal yang mengkhawatirkanmu atau bahkan mungkin membahayakanmu ketika kamu benar-benar membukanya, sementara kamu juga dihantui rasa penasaran akan hal tersebut.” 

Untuk menjawab pertanyaan itu, saat itu aku berpendapat: Hal ini subyektif, setiap orang dengan sudut pandang dan latar belakang yang berbeda sangat mungkin berbeda pula dalam menanggapinya terutama dalam hal memilih apakah orang tersebut akan langsung membukanya atau menunggu saat tertentu yang dapat meyakinkannya. Orang bisa saja langsung membuka tirai karena rasa penasarannya yang sangat, atau bisa juga orang akan mengumpulkan informasi terlebih dahulu sehingga dia yakin lalu membukanya, atau mungkin ada juga orang yang tidak pernah berani dan selalu ragu-ragu untuk membuka tirai tersebut walau dia sudah mendapatkan banyak informasi yang mendukungnya. Terdapat banyak sekali kemungkinan. Semua pilihan relatif benar dan tidak dapat sepenuhnya disalahkan.”

Setelah mendengar jawaban itu, temanku pun kembali bertanya tentang bagaimana tindakanku. Aku jawab, “Aku ini senang berpikir, jadi pertama kali yang akan aku lakukan kira-kira ya berfikir dan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu.” “Lalu setelah itu?”, dia melanjutkan. Aku jawab lagi “Tergantung apa yang aku pikirkan saat itu. Aku menyadari kalau kadang-kadang aku juga tidak bisa membendung rasa ingin tauku yang besar. Jadi, selain kemungkinan untuk tidak membuka tirai, mungkin aku akan membukanya karena beberapa pertimbangan, atau mungkin juga aku membukanya hanya karena rasa ingin tauku yang besar walaupun aku tau itu akan membahayakanku.” Setelah menguraikan jawaban itu, aku dan teman dalam beberapa saat memikirkannya. Kemudian aku melanjutkannya lagi, “Ada satu hal yang menurutku penting dalam hal ini. Aku tau ini akan berat, tapi hal ini harus selalu aku usahakan. Aku akan berusaha dalam setiap keputusan yang aku ambil, itu aku lakukan bukan karena nafsuku.”

Itu adalah sekilas tentang percakapanku. Di sini aku tidak bicara tantang bagaimana jawabanku. Orang bisa saja banyak bicara tetapi tidak pernah mengamalkan omongannya, ada juga orang yang tidak pernah bicara tetapi mengamalkan dan masih banyak lagi kemungkinan yang lain. Aku sendiri awalnya kurang sepenuhnya menyadari jawaban yang aku berikan. Ini karena seringkali saat ditanya (terutama dalam permasalahan yang serius) aku berusaha memberikan jawaban sebaik dan sejujur mungkin tetapi tanpa sedikitpun merumuskannya. Beberapa saat setelah memberikan jawaban itu, aku mencoba merenungkannya kembali. Aku pikir hal ini nantinya akan berguna dalam kehidupanku. Paling tidak ada beberapa pelajaran penting yang bisa aku ambil dari kejadian itu.

Pertama, dalam hal cara orang mengambil keputusan. Ada yang cepat dan lambat, ada yang tergesa-gesa ada yang penuh pertimbangan, ada yang dihantui rasa takut dan banyak lagi. Hal ini sangat subjektif dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Semua cara dalam hal ini relarif benar dan tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan. Kesadaran akan hal semacam ini menurutku karena dapat membuat kita lebih bisa menerima dan menghormati perbedaan. Dengan catatan, tentu saja semua keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya lingkungan dan alam sekitarnya, terutama dalam berhubungan dengan sang Pencipta.

Yang kedua dan yang paling penting adalah sedapat mungkin dalam mengambil keputusan itu bukan karena nafsu kita semata. Menurut pandanganku, akan jauh lebih baik kalau kita menunda dulu untuk memutuskan sesuatu kalau saat itu kita dalam keadaan bernafsu atau emosi. Dalam keyakinanku, tidak akan bertahan lama keputusan yang diambil saat bernafsu atau emosi. Dalam hal ini aku mejadi teringat cerita sahabat sekaligus keponakan Rasulullah saw, Ali Bin Abi Thalib. Beliau memutuskan untuk menarik kembali pedangnya yang telah dihunuskan di leher seorang kafir yang telah tejatuh yang menjadi lawannya dalam sebuah peperangan karena disaat itu si kafir meludahi beliau. Ketika ditanya beliau menjawab, “Aku takut kepada Allah kalau-kalau aku membunuh si kafir karena nafsu atau emosiku, bukan karena-Nya”. 

Subhanallah, begitu mulianya...

Minggu, 15 Mei 2011

Ternyata, Bisa Jadi Tuhan Tidak ‘Berpikir’ Linier

Tulisan ini berawal dari perasaan kecewa kepada Tuhan. Maklum saja di usia menginjak dewasa sering terjadi pada diri saya gejolak-gejolak yang menguras tenaga, menguji emosi dan kepekaan hati. Masalah yang sebenarnya sepele, remeh, gak penting bisa menjadi bomerang pada diri masing-masing individu. Saya tidak mengatakan kalau sudah semakin tua nanti saya sudah bisa keluar dari gejolak-gejolak ini. Gejolak-gejolak tersebut mampu menyeret pelakunya kapada kemalesan, ketidakpercayadirian, kemaksiatan, atau bahkan kematian. Sesuatu yang harusnya bisa dijadikan pelajaran, pijakan untuk memutuskan, syukur-syukur dapat mengurai hikmah dari semua kejadian.

Gejolak-gejolak yang sering muncul diantaranya keinginan untuk bebas dalam lingkungan yang terikat, pemuda-pemudi yang lagi kasmaran, kondisi keuangan, life style, dunia pendidikan atau perkuliahan, keluarga yang berantakan, dan banyak lagi. Banyak kejadian yang mungkin terjadi, banyak juga kemungkinan yang menyebabkan adanya setiap kejadian tersebut. Setiap manusia sangat mungkin berbeda, baik itu penyebab, cara penyelesaian, pengaruh dari setiap kejadian yang dialami. Setiap manusia berbeda pula gejolak yang memiliki pengaruh paling besar pada dirinya.

Bagi saya pribadi gejolak yang memilki pengauh paling besar di usia 21 tahun ini adalah masalah hubungan dengan lawan jenis. Bagaimanapun, bagi saya gejolak ini melibatkan banyak hal dalam diri saya: pikiran, hati dan perasaan. Melibatkan pikiran karena ini merupakan permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Melibatkan hati karena berkaitan dengan cinta dan kasih sayang yang disifatkan Tuhan kepada setiap manusia. Melibatkan perasaan karena dari hubungan dan tindakan yang ada akan menimbulkan rasa suka, senang, sedih, sakit.

Saya katakan demikian bukan karena saya ini orang yang tampan yang sering gonta-ganti pacar, bukan juga karena saya sering dikecewakan. Tapi terserah juga yang menganggap saya demikian dan demikian. Bagi saya yang paling bermasalah adalah kebingungan saya sendiri. Begitu banyak problema: berubah-ubahnya hati dan rasa, ketakutan, kelemahan (kelebihan) diri dan kompleksnya pikiran membuat saya akhirnya tidak bebuat apa-apa. Begitu menyakitkan dan bahkan sempat membuat saya kecewa kepada Tuhan. Saya merasa telah melakukan banyak hal untuk-Nya, memohon petunjuk dan pertolongan-Nya tapi yang saya dapatkan malah kebingungan, ketidakjelasan, kekecewaan.

Tapi bukan ini yang ingin saya utarakan. Ditengah-tengah kebingungan itu saya sempat merasa mendapatkan petunjuk. Beberapa saat setelah melakukan ritual minta petunjuk, saya merasa mendapatkan petunjuk itu. Anehnya kok petunjuknya malah menyuruh saya menjauh dari-Nya. Memang sih, selama ini saya berpikiran sangat mungkin kemaksiatan yang dilakukan manusia itu hanya untuk sementara, bisa jadi nantinya dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari perbuatannya itu, sebelum akhirnya mendapat petunjuk dan kembali ke jalan yang  benar dan diridloi. Tapi yang saya pikirkan justru lain: jangan-jangan ini bukan petunjuk Tuhan tapi malah suara setan, jangan-jangan nantinya tidak dapat lagi kudapatkan petunjuk karena semakin jauh dari-Nya, dan banyak lagi yang menjadi pikiranku. Semakin bingung. Hilang rasanya keyakinan- keyakinan yang selama ini saya pegang.

Di saat-saat seperti ini, kuberusaha untuk tetap bisa berjalan seperti biasa sampai akhirnya saya dihadapkan dengan kenyataan yang kusangka petunjuk itu. Bagaimanapun setan sangat piawai untuk mengalihkan hati manusia sebelum akhirnya menenggelamkannya. Semakin dekat dengan petunjuk itu,rasanya  semakin ingin untuk mendapatkannya. Ketika petunjuk tersebut sudah di depan mata, Tuhan berkata lain dan menakdirkan saya untuk tidak mendapatkannya. Sangat sakit rasanya. Semakin lemah dan tak mampu berbuat apa-apa.

Setelah beberapa saat kucoba perpikir dan merenungkan kejadian tersebut. Terasa begitu lemah diri ini dan terdapat Dzat Yang Maha Kuat, Kuasa Dan Perkasa. Dan ternyata juga memang selama ini, hal ini (tidak dulu mempunyai hubungan dan kepikiran dengan lawan jenis) yang saya harapkan, jadi semakin saya merasa Yang Maha Kuasa memperhatikan dan memenuhi kebutuhan saya. Dan yang penting juga bahwa kejadian yang saya alami ini juga merupakan salah satu petunjuk yang saya harapkan.

Dari sini didapati bahwa bisa jadi Tuhan tidak memberikan petunjuk secara langsung kepada hamba yang dikehendaki-Nya, seperti halnya Tuhan tidak secara langsung menjawab doa hamba-Nya. Bisa jadi Tuhan tidak ‘berpikir’ linier atas semua permasalahan yang kita hadapi. Banyak kemungkinan yang kita tidak tau yang direncanakan-Nya: Tuhan ingin menguji hamba-Nya, menunggu saat yang tepat, atau mungkin Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Yang penting untuk dilakukan adalah bersabar, bersyukur, dan tetap berusaha melakukan yang terbaik yang dapat dilakuakan. Jika semua telah dilakukan yakin bahwa semua akan indah pada waktunya.

Jumat, 06 Mei 2011

Ngopi dan Ngerokok, Adakah Hikmahnya?

Orang barangkali menganggap remeh aktivitas ngopi dan ngerokok. Bahkan, tidak sedikit juga orang yang menganggap remeh kebiasaan ini. Disini saya tidak membicarakan kelebihan atau kekurangan meminum kopi atau menghirup rokok, karena pada dasarnya semua selalu ada kekurangan dan kelebihannya, dan hal itu sangat subjektif. Tentang hal-hal semacam itu, yang mungkin relevan saya katakan adalah "janganlah berlebihan, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik." Saya akan melihat aktivitas ngopi dan ngerokok dari sudut pandang yang berbeda, berusaha mencari makna dari kedua hal tersebut dan nantinya mencari-cari adakah hikmah yang bisa saya dapatkan darinya.

Ngopi. Secara umum orang mengartikan hal tersebut sebagai aktivitas meminum kopi baik itu di rumah, warung, kafe atau di tempat-tempat lain. Akan jarang atau mungkin dianggap kurang kerjaan orang yang melihat aktivitas ngopi secara lebih detail dan mendalam. Secangkir kopi itu unsur-unsurnya antara lain: kopi sebagai unsur pemberi rasa pahit, gula sebagai unsur pemberi manis, dan air sebagai unsur tawar. Jika dikaitkan dengan kehidupan, secara umum hidup itu ya terdiri dari unsur-unsur itu: manis, pahit dan tawar. Hidup kalau tidak manis ya pahit, atau mungkin tawar. Dapat pula diartikan hidup merupakan manis, pahit dan tawar yang campur aduk menjadi satu.

Orang yang meminum kopi, bagi yang biasa dan tau, itu berbeda dengan meminum minuman lain yang kebanyakan untuk melepas dahaga. Ketika meminum air misalnya, orang cenderung akan meminum segelas air secara langsung. Berbeda dengan ketika meminum kopi, yang untuk meminum secangkir saja orang bisa menghabiskan waktu sejam. Orang meminum kopi seteguk saja dapat dirinci dengan ketika menyeruputnya, meresapinya, merasakannya dan kemudian timbul kenikmatan dari aktivitas tersebut. Jadi, meminum kopi sama dengan menyeruput manis-pahitnya kopi, menikmati dan merasakannya, dan kemudian timbul kenikmatan dari manis-pahitnya kopi tersebut. Dalam kehidupan pun demikian, setiap kehidupan baik itu manis atau pahit, enak atau tidak enak, senang atau sedih seharusnya kita dapat menikmatinya. Manis-pahitnya hidup kita terima, resapi dan rasakan kemudian nantinya timbul suatu kenikmatan.

Ngerokok. Aktivitas yang satu ini dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kebiasaan buruk karena mengandung nikotin yang dianggap merugikan kesehatan. Anehnya banyak juga orang orang hebat dan dihormati yang merokok. Bila dikatakan merokok mengurangi umur, dalam kenyataannya banyak juga perokok yang umurnya sampai sembilan puluh atau seratus tahun. Saya lebih senang dan mantap mengatakan asap rokok itu sebagai masalah seperti halnya kehidupan yang identik dengan masalah. Orang dapat memilih antara menghadapi atau menghindari masalah itu. Sekali lagi saya katakan hal itu sangat subjektif.

Orang ngerokok itu menghirup asapnya, meresapi dan merasakan, mengeluarkan asap rokok tersebut, kemudian akan timbul suatu kenikmatan. Artinya dalam kehidupan yaitu suatu masalah yang sedang dihadapi, diterima, diresapi dan dirasakan, dikeluarkan (dipecahkan), kemudian akan timbul suatu kenikmatan.

Itulah pemikiran saya tentang ngopi dan ngerokok. Disini, saya tidak dalam posisi membenarkan ngopi dan ngerokok. Semua akan tergantung dari tingkat manfaatnya dalam kehidupan dan setiap orang berbeda dalam hal ini. Disini, saya lebih pada keinginan untuk mengatakan: kalau dari suatu hal yang remeh seperti ngopi dan ngerokok saja, apabila dipikirkan secara mendalam, akan dapat diperoleh nilai yang berharga dalam hidup, apalagi sesuatu yang kadarnya lebih besar dalam hidup. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan "hikmah itu dapat diperoleh, walau dari meminum secangkir kopi dan menghisap sebatang rokok, bagi yang mau berpikir."
wallahua'lam

Selasa, 03 Mei 2011

Bertahan

Tak pernah kumengerti
Tak mampu kupahami
Yang dekat dianggap tak pasti
Yang jauh tak terjangkau lagi

Semakin bingung kurasa
Tak ada beda mimpi dan nyata
Aku cari yang tak kutau adanya
Setelah ketemu seolah tak kudapat apa-apa

Aku mulai bosan
Namun tiada lagi pilihan
Ku bertekad tuk bertahan
Menunggu dan tak tau sampai kapan

Sudahlah
Aku merasa lelah
Tapi tak mungkin menyerah
Aku pasrah

Barangkali saatnya kulanjutkan mimpi
Dan berharap suatu saat dapat kumulai
Aku bangun dan berjalan dengan pasti
Tak pernah tertidur lagi


Bintaro
03 Mei 2011
00:07