Suatu ketika seorang teman bertanya kepadaku tentang suatu pilihan. Sangat mungkin teman ini berniat untuk mengujiku karena memang umurnya yang beberapa tahun lebih tua dariku. Juga karena aku memang sering saling berbagi dengannya tentang masalah-masalah kehidupan semacam ini. Dia tanya kepadaku tentang apa yang akan aku lakukan ketika aku dihadapkan pada sebuah tirai terkunci, sementara aku telah memiliki kuncinya yang diasumsikan kunci tersebut tidak akan pernah hilang. Dari sini permasalahan sekilas tampak mudah karena aku bisa membukanya kapanpun sesukaku. Akan tetapi permasalahan pun bertambah ketika dia bilang, “Ada hal yang mengkhawatirkanmu atau bahkan mungkin membahayakanmu ketika kamu benar-benar membukanya, sementara kamu juga dihantui rasa penasaran akan hal tersebut.”
Untuk menjawab pertanyaan itu, saat itu aku berpendapat: Hal ini subyektif, setiap orang dengan sudut pandang dan latar belakang yang berbeda sangat mungkin berbeda pula dalam menanggapinya terutama dalam hal memilih apakah orang tersebut akan langsung membukanya atau menunggu saat tertentu yang dapat meyakinkannya. Orang bisa saja langsung membuka tirai karena rasa penasarannya yang sangat, atau bisa juga orang akan mengumpulkan informasi terlebih dahulu sehingga dia yakin lalu membukanya, atau mungkin ada juga orang yang tidak pernah berani dan selalu ragu-ragu untuk membuka tirai tersebut walau dia sudah mendapatkan banyak informasi yang mendukungnya. Terdapat banyak sekali kemungkinan. Semua pilihan relatif benar dan tidak dapat sepenuhnya disalahkan.”
Setelah mendengar jawaban itu, temanku pun kembali bertanya tentang bagaimana tindakanku. Aku jawab, “Aku ini senang berpikir, jadi pertama kali yang akan aku lakukan kira-kira ya berfikir dan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu.” “Lalu setelah itu?”, dia melanjutkan. Aku jawab lagi “Tergantung apa yang aku pikirkan saat itu. Aku menyadari kalau kadang-kadang aku juga tidak bisa membendung rasa ingin tauku yang besar. Jadi, selain kemungkinan untuk tidak membuka tirai, mungkin aku akan membukanya karena beberapa pertimbangan, atau mungkin juga aku membukanya hanya karena rasa ingin tauku yang besar walaupun aku tau itu akan membahayakanku.” Setelah menguraikan jawaban itu, aku dan teman dalam beberapa saat memikirkannya. Kemudian aku melanjutkannya lagi, “Ada satu hal yang menurutku penting dalam hal ini. Aku tau ini akan berat, tapi hal ini harus selalu aku usahakan. Aku akan berusaha dalam setiap keputusan yang aku ambil, itu aku lakukan bukan karena nafsuku.”
Itu adalah sekilas tentang percakapanku. Di sini aku tidak bicara tantang bagaimana jawabanku. Orang bisa saja banyak bicara tetapi tidak pernah mengamalkan omongannya, ada juga orang yang tidak pernah bicara tetapi mengamalkan dan masih banyak lagi kemungkinan yang lain. Aku sendiri awalnya kurang sepenuhnya menyadari jawaban yang aku berikan. Ini karena seringkali saat ditanya (terutama dalam permasalahan yang serius) aku berusaha memberikan jawaban sebaik dan sejujur mungkin tetapi tanpa sedikitpun merumuskannya. Beberapa saat setelah memberikan jawaban itu, aku mencoba merenungkannya kembali. Aku pikir hal ini nantinya akan berguna dalam kehidupanku. Paling tidak ada beberapa pelajaran penting yang bisa aku ambil dari kejadian itu.
Pertama, dalam hal cara orang mengambil keputusan. Ada yang cepat dan lambat, ada yang tergesa-gesa ada yang penuh pertimbangan, ada yang dihantui rasa takut dan banyak lagi. Hal ini sangat subjektif dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Semua cara dalam hal ini relarif benar dan tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan. Kesadaran akan hal semacam ini menurutku karena dapat membuat kita lebih bisa menerima dan menghormati perbedaan. Dengan catatan, tentu saja semua keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan terbaik adalah yang paling banyak manfaatnya lingkungan dan alam sekitarnya, terutama dalam berhubungan dengan sang Pencipta.
Yang kedua dan yang paling penting adalah sedapat mungkin dalam mengambil keputusan itu bukan karena nafsu kita semata. Menurut pandanganku, akan jauh lebih baik kalau kita menunda dulu untuk memutuskan sesuatu kalau saat itu kita dalam keadaan bernafsu atau emosi. Dalam keyakinanku, tidak akan bertahan lama keputusan yang diambil saat bernafsu atau emosi. Dalam hal ini aku mejadi teringat cerita sahabat sekaligus keponakan Rasulullah saw, Ali Bin Abi Thalib. Beliau memutuskan untuk menarik kembali pedangnya yang telah dihunuskan di leher seorang kafir yang telah tejatuh yang menjadi lawannya dalam sebuah peperangan karena disaat itu si kafir meludahi beliau. Ketika ditanya beliau menjawab, “Aku takut kepada Allah kalau-kalau aku membunuh si kafir karena nafsu atau emosiku, bukan karena-Nya”.
Subhanallah, begitu mulianya...