Tiada ucapan, karena memang tiada yang mengucapkannya. Saura detik jam begitu kuat terasa. Belalang, cicak, jangkrik bernyanyi saling bersahutan mengisi suasana. Sepi atau mungkin sunyi mengisi sebuah malamku. Mengantar pikirku menjelajah mengisi waktu. Menyelami sebuah rindu atau mungkin pilu. Tak ada yang bisa kuperbuat karena memang tak mampu. Maha Kuasa-Mu sungguh benar-benar menguasaiku.
Kata-kata di atas tiba-tiba ingin aku tuliskan sebelum memulai tulisan ini. Paling tidak itu menggambarkan suasana saat aku membuat tulisan ini. Di dalam menjalani hidup aku memang memiliki keyakinan-keyakinan. Dari keyakinan-keyakinan tersebut, sebagai makhluk yang disifati Tuhan dengan sifat-sifatNya kadang juga terbersit sifat yang tak layak kumiliki. Al-Mutakabbir (kesombongan) adalah sifat yang kata Tuhan tak layak dimiliki manusia. Kadang aku merasa paling benar dengan keyakinanku. Sehingga membuat aku tidak pernah mau kalah dengan orang lain meski aku tidak menyatakannya. Atau mungkin kadang aku juga mati-matian mempertahankan keyakinan-keyakinan itu.
Keyakinan semacam itulah yang kadang membuat diriku merasa paling baik. Akan beruntung orang yang mendekatiku dan akan merugi orang yang menjauhiku. Lucu dan konyol memang. Tapi jujur memang itu yang aku rasakan. Dan sampai sekarang atau kapan pun keyakinan semacam itu mungkin akan terus menghantuiku.
Tak sepenuhnya salah memang. Setiap orang punya hak untuk berprinsip, meyakini dan mungkin fanatik atas prinsipnya itu. Pengalaman hidupkulah yang membuat aku harus menyatakan tindakan itu tak layak buatku. Aku memang belum pernah mampu mempertahankan keyakinanku. Seringkali dalam hidupku berbagai ujian datang mengujiku. Lambat laun aku akan merasa kecewa, sedih atau bahkan menangis karena keyakinanku itu. Dan akhirnya sampai batas tertentu aku harus mengatakan “sudahlah Tuhan, aku tak kuat lagi”.
Tentu saja keyakinan disini bukan dalam hal akidah yang memang harus mati-matian dipertahankan, jika Tuhan menghendaki. Keyakinan disini adalah dalam hal pandangan dan prinsip hidup. Tulisan ini juga tidak bermuara bahwa aku melarang diriku memiliki pandangan dan prinsip hidup. Hal itu sangat penting sebagai pegangan hidup. Dalam kaitannya dengan pandangan dan prinsip hidup, aku punya dan dalam batas tertentu akan selalu berusaha untuk menjaga dan mempertahankannya. Disini, Ada beberapa hal yang ingin aku tekankan. Pertama, aku harus selalu ingat ada Dzat yang Maha Baik dan Benar dalam hidup. Maka aku tidak boleh mlete, sok dalam menjalani hidup. Kedua, aku tidak boleh kaku dalam bergaul dengan manusia atau makhluk Tuhan yang lain. Sebagai wacana, aku teringat pesan dari guru yang amat saya hormati, KH Ahmad Dimyathi Romly, beliau dawuh “hidup itu jangan kaku-kaku, kalau kaku seperti orang mati, tidak punya teman dan akhirnya orang pada takut.” Dan ternyata hal ini berdasarkan pengalamanku banyak mempunyai manfaat yang tidak bisa aku uraikan di sini. Ketiga, aku memang lemah, aku tidak punya kuasa apa-apa. Bahkan untuk mempertahankan kebenaran untuk diriku saja, aku tak bisa, apalagi jika harus mempertahankan kebenaran untuk orang lain. Karena itu aku tidak berani memaksa atau bahkan mengajak orang lain untuk meyakini apa yang aku yakini.
Lalu bagaimana posisi dakwah dalam pandangan aku. Tentu saja penting. Tetapi dalam rangka untuk memanggil dan mengingatkan. Kalau nantinya orang yang aku panggil dan ingatkan merasa terajak, itu sama sekali sudah bukan kekuasaan aku. Kalau memang itu suatu kebenaran maka rahmat dan hidayah Tuhan lah yang menunjukkannya. Kalau memang itu suatu kejelekan maka orang itu dan aku memang ditakdirkan untuk tidak beruntung. Jika diberikan kesadaran aku harus cepat-cepat mohon ampun kepada-Nya.