Menulis untuk sebuah pencarian yang tak berkesudahan. Menulis untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang. Menulis untuk merumuskan lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran. Menulis untuk menyapa lembutnya hati dan dalamnya perasaan. Menulis untuk secara perlahan dan terus-menerus menguatkan keyakinan. Menulis untuk memaknai setiap torehan dan liku kehidupan. Menulis untuk berupaya menggapai hakikat dan kesejatian.

Minggu, 10 April 2011

Sudahlah Tuhan, Aku Tak Kuat Lagi!



Tiada ucapan, karena memang tiada yang mengucapkannya. Saura detik jam begitu kuat terasa. Belalang, cicak, jangkrik bernyanyi saling bersahutan mengisi suasana. Sepi atau mungkin sunyi mengisi sebuah malamku. Mengantar pikirku menjelajah mengisi waktu. Menyelami sebuah rindu atau mungkin pilu. Tak ada yang bisa kuperbuat karena memang tak mampu. Maha Kuasa-Mu sungguh benar-benar menguasaiku.
Kata-kata di atas tiba-tiba ingin aku tuliskan sebelum memulai tulisan ini. Paling tidak itu menggambarkan suasana saat aku membuat tulisan ini. Di dalam menjalani hidup aku memang memiliki keyakinan-keyakinan. Dari keyakinan-keyakinan tersebut, sebagai makhluk yang disifati Tuhan dengan sifat-sifatNya kadang juga terbersit sifat yang tak layak kumiliki. Al-Mutakabbir (kesombongan) adalah sifat yang kata Tuhan tak layak dimiliki manusia. Kadang aku merasa paling benar dengan keyakinanku. Sehingga membuat aku tidak pernah mau kalah dengan orang lain meski aku tidak menyatakannya. Atau mungkin kadang aku juga mati-matian mempertahankan keyakinan-keyakinan itu.
Keyakinan semacam itulah yang kadang  membuat  diriku merasa paling baik. Akan beruntung orang yang mendekatiku dan akan merugi orang yang menjauhiku. Lucu dan konyol memang. Tapi jujur memang itu yang aku rasakan. Dan sampai sekarang atau kapan pun keyakinan semacam itu mungkin akan terus menghantuiku.
 Tak sepenuhnya salah memang. Setiap orang punya hak untuk berprinsip, meyakini dan mungkin fanatik atas prinsipnya itu. Pengalaman hidupkulah yang membuat aku harus menyatakan tindakan itu tak layak buatku. Aku memang belum pernah mampu mempertahankan keyakinanku. Seringkali dalam hidupku berbagai ujian datang mengujiku. Lambat laun aku akan merasa kecewa, sedih atau bahkan menangis karena keyakinanku itu. Dan akhirnya sampai batas tertentu aku harus mengatakan “sudahlah Tuhan, aku tak kuat lagi”.
Tentu saja keyakinan disini bukan dalam hal akidah yang memang harus mati-matian dipertahankan, jika Tuhan menghendaki. Keyakinan disini adalah dalam hal pandangan dan prinsip hidup. Tulisan ini juga tidak bermuara bahwa aku melarang diriku memiliki pandangan dan prinsip hidup. Hal itu sangat penting sebagai pegangan hidup. Dalam kaitannya dengan pandangan dan prinsip hidup, aku punya dan dalam batas tertentu akan selalu berusaha untuk menjaga dan mempertahankannya. Disini, Ada beberapa hal yang ingin aku tekankan. Pertama, aku harus selalu ingat ada Dzat yang Maha Baik dan Benar dalam hidup. Maka aku tidak boleh mlete, sok dalam menjalani hidup. Kedua, aku tidak boleh kaku dalam bergaul dengan manusia atau makhluk Tuhan yang lain. Sebagai wacana, aku teringat pesan dari guru yang amat saya hormati, KH Ahmad Dimyathi Romly, beliau dawuh “hidup itu jangan kaku-kaku, kalau kaku seperti orang mati, tidak punya teman dan akhirnya orang pada takut.” Dan ternyata hal ini berdasarkan pengalamanku banyak mempunyai manfaat yang tidak bisa aku uraikan di sini. Ketiga, aku memang lemah, aku tidak punya kuasa apa-apa. Bahkan untuk mempertahankan kebenaran untuk diriku saja, aku tak bisa, apalagi jika harus mempertahankan kebenaran untuk orang lain. Karena itu aku tidak berani memaksa atau bahkan mengajak orang lain untuk meyakini apa yang aku yakini.
Lalu bagaimana posisi dakwah dalam pandangan aku. Tentu saja penting. Tetapi dalam rangka untuk memanggil dan mengingatkan. Kalau nantinya orang yang aku panggil dan ingatkan merasa terajak, itu sama sekali sudah bukan kekuasaan aku. Kalau memang itu suatu kebenaran maka rahmat dan hidayah Tuhan lah yang menunjukkannya. Kalau memang itu suatu kejelekan maka orang itu dan aku memang ditakdirkan untuk tidak beruntung. Jika diberikan kesadaran aku harus cepat-cepat mohon ampun kepada-Nya.

Sabtu, 09 April 2011

Musa Mencari Keadilan Tuhan

Terinspirasi dari cerita Cak Nun (Emha Ainiun Nadjib) dalam forumnya Bangbang Wetan di Balai Pemuda Surabaya, saya tertarik untuk menuliskannya. Salah satu ceritanya adalah mengisahkan nabi Musa yang mencari keadilan Tuhan. Terus terang saya sendiri kurang tahu pasti bagaimana alur cerita aslinya. Saya tidak bisa mengatakan juga kalau cerita ini versinya Cak Nun, sangat lemah ingatan dan pendengaran saya untuk menangkap secara detail cerita beliau. Toh bagi saya yang penting bukan itu. Nilai dari kisah ini penting untuk kehidupan saya sehingga menarik bagi saya untuk menuliskannya.

Alkisah seorang nabi bernama Musa ingin tahu kepastian tentang keadilan Tuhan. Musa bertanya kepada Tuhan, “Wahai Tuhan, Engkau menyebutkan bahwa Engkau Maha Adil, dimanakah letak keadilan-Mu itu?” Tuhan pun menjawab pertanyaan nabinya itu, “Musa, apakah kamu tidak percaya dengan Kemahaadilan-Ku?” Musa menjawab, “Bukan begitu Tuhanku, tentu saja hamba percaya dengan Kemahaadilan-Mu, hamba cuma ingin menguatkan keyakinan hamba dan umat-umat hamba.” Tuhan akhirnya memutuskan, “Baiklah Musa, pergilah kamu ke tepi sungai, sembunyi dan tunggulah di sana! Tapi ingatlah, kamu harus bersabar. Tidak akan kamu peroleh jawaban pertanyaanmu itu tanpa kesabaran.”

Musa pun akhirnya menjalankan perintah Tuhannya, beliau pergi ke tepi sebuah sungai dan bersembunyi di bawah sebuah pohon. Tak berselang lama setelah itu, datanglah seorang ksatria berkuda dengan membawa sebongkah emas ke tepi sungai. Rupanya ksatria tersebut ingin mengambil minum dari sungai itu. Setelah itu ksatria pergi dan lupa meninggalkan bongkahan emas miliknya. Beberapa saat kemudian datanglah seorang anak ke tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Seorang anak yang notabene belum tahu hukum, begitu melihat  bongkahan emas, diambil dan dibawanya pergilah bongkahan emas itu. Setelah itu, Tuhan pun menjalankan seorang buta ke tempat tersebut dengan maksud yang sama. Datang pula ksatria berkuda tadi yang ternyata telah menyadari kalau sebongkah emas miliknya tertinggal di tempat itu. Ksatria yang saat itu hanya melihat seorang buta di tempat itu langsung bertanya dan terjadilah beberapa percakapan. “Wahai Kisanak, tidakkah kamu melihat bongkahan emas milikku tertinggal di tempat ini?”, tanya ksatria. “Tidak kisanak, saya tidak tahu”, jawab si buta. “Tidak mungkin, engkau pembohong, engkau pasti mengetahuinya”, eyel ksatria. Si buta pun menjawab, “Kisanak kan tahu, saya buta, saya tidak bisa melihat apa-apa, saya tidak melihat bongkahan emas milik Kisanak.” Ksatria tetap tidak percaya dengan penjelasan si buta, dan akhirnya menusukkan pedangnya ke tubuh si buta sampai mati.

Nabi Musa yang melihat kejadian tersebut hampir habis kesabarannya. Tidak selayaknya ksatria membunuh si buta yang memang tidak tahu apa-apa. Yang sebenarnya layak untuk dihukum adalah si anak pencuri bongkahan emas. Beliau segera bertanya kepada Tuhan letak keadilan dari peristiwa tersebut. Tuhan pun menjawabnya, “Musa, kamu itu tidak tahu apa-apa, kamu tidak mengenal siapa ksatria, anak dan si buta. Ksatria itu adalah seorang juragan yang mempunyai banyak pekerja. Anak itu dan bapaknya dulu adalah salah satu dari pekerja ksatria. Selama bertahun-tahun mereka bekerja dan tidak pernah dibayar oleh si ksatria. Dan bongkahan emas itu adalah umpama bayaran yang menjadi hak anak itu dan bapaknya. Sedangkan si buta itu dulunya adalah seorang kejam yang dulu membunuh bapak dari anak itu. Kematian atas si buta itu adalah umpama balasan atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya kepada bapak si anak.” Setelah mendengar penjelasan Tuhan musa akhirnya sadar dan mengerti keadilan Tuhan.

Dari cerita di atas, tampak oleh saya suatu kisah yang awalnya menjengkelkan dan menguras emosi dan akhirnya melegakan setelah tahu maksud dan asal-usulnya. Paling tidak ada empat pelajaran yang saya ambil dari kisah ini. Pertama, kesabaran. Kalau saja nabi Musa tidak sabar dan lalu menghukumi pelaku-pelakunya, kisah tersebut tidak akan sampai pada pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik darinya. Kedua, pentingnya bertafakkur. Dari kisah tampak cerminan diri saya. Tampak bahwa diri ini terlampau sering mengeluh atas masalah yang ada, padahal sangat mungkin itu karena kesalahan saya sendiri. Ternyata tidak bisa suatu kejadian hanya dilihat dari yang tampak oleh saya saja. Seharusnya ada waktu untuk berfikir dan merenungkannya sehingga saya bisa tahu asal-usul dan maksudnya. Ketiga, pentingnya renda hati. Begitu banyak yang tidak saya ketahui sebagai manusia dan begitu luas ilmu Sang Pencipta. Keempat, arti keadilan Tuhan itu sendiri. Keadilan Tuhan tidak cukup bisa diketahui dengan hanya berpikir linier saja. Begitu banyak faktor yang rasa-rasanya tidak cukup ilmu manusia untuk bisa mengetahuinya. Maka penting bagi diri saya untuk selalu husnudzon kepada Tuhan.